Jumat, 21 November 2014

Gadis Kecil Dengan Piyama


Gadis Kecil Dengan Piyama


NNaomi


Malam ini aku menghadiri pesta makan malam sahabat tunanganku. Di atas meja makan, kami berkumpul dan berbicara banyak hal. Aku yang dulu mempelajari tentang psikologi di kampus dapat menilai kalau Jone punya kepribadian yang baik. 

Jone bercerita tentang perceraiannya dan rencananya untuk menata hidup dari awal lagi. Orang seperti Jone memang sangat butuh dukungan orang-orang di sekitarnya. 

Ketika kami sedang asik ngobrol sambil menikmati hidangan penutup, gadis kecil dengan piyama turun dari tangga menghampiri kami. Dari raut wajahnya gadis kecil itu seperti sedang sakit. Jone dan tunanganku diam saja.

“kau punya gadis kecil yang manis, Jone”, ucapku sambil menghampiri gadis kecil itu. 

Jone hanya diam, raut wajahnya terlihat tidak nyaman.

“Selamat malam gadis kecil, maaf kalau kami membangunkanmu”, ucapku sambil tersenyum.

Jone berdiri dari kursinya dan menghalangiku dari gadis kecil itu.

“SUDAH KU BILANG PERGI DAN TIDUR LAH DENGAN TENANG, SIALAN!”, teriak Jone pada gadis kecil. Aku kaget setengah mati melihat Jone marah-marah. Gadis kecil itu lalu naik ke atas lagi.

“Efelin, bisakah kita abaikan dia?”, ucap Jone padaku. Aku mengangguk.

Ketika kami sedang mengobrol dengan suasana canggung, terdengar suara tangisan dari atas. 

“Jone,aku bukan bermaksud menggurimu, tapi tidak baik berkata hal buruk pada anakmu. Dia masih terlalu kecil. Aku akan bantu menenangkannya”, lalu aku pergi ke atas. 

Ternyata gadis kecil itu meringkuk di tangga sambil menangis. Sebelum aku sempat berbicara, gadis kecil itu berkata, “Apakah ayah tidak mencintaiku lagi?”. Rasanya sedih mendengarnya.

Tiba-tiba, tunanganku datang dan berkata, “Efelin kembalilah kemeja makan, tolong”. Lalu dia menarik lenganku. Padahal aku belum menenangkan gadis kecil itu.

“Jone, kau harus berbicara dengannya, dia sangat sedih”, ucapku.

Jone menarik nafas lalu berkata, “Efelin, aku tidak punya anak, satu pun. Mantan istriku mandul”

“lalu gadis kecil itu?”, tanyaku pelan.

“Dia berasal dari sini dan selalu menggangguku. Aku pikir dengan mengundang kalian ke sini, dia akan menghilang untuk sementara waktu, ternyata tidak sama sekali”

Seketika di ruangan ini hanya terdengar suara tangis gadis kecil itu.

 FIN

Rabu, 15 Oktober 2014

Bintang Jatuh yang Tertelan


           
Bintang Jatuh yang Tertelan         
 NNaomi
            


Rasa cinta benar-benar datang seperti bintang jatuh yang menyayat malam dengan cahaya silau yang bertabur seribu harapan. Ketika melihat bintang jatuh spontan kelopak mata akan tertutup dan hati mulai mengucap harapan. Kau percaya bintang jatuh dapat mengabulkan harapan mu? Bukan kah itu mustahil?

            Kilauan cahaya bintang jatuh secepat kilat tertelan kelamnya malam. Saat rasa cinta ini begitu nyata, secepat kilat keadaan menelannya. 
         Semua itu, dimulai dari daun yang menggigil terselimuti kabut. Aku keluar rumah dengan belek rontok dari pelupuk mataku. Srak..srak.. kebun bunga matahari nenek bergoyang-goyang seperti ada yang menebasnya dari bawah. Aku berlari ke dalam rumah mengambil senter dan tongkat bisball lalu kembali lagi.
            “SIAPA DISANA!!”
            “Bolehkah aku meminta beberapa saja bunga mataharimu?” sahut seorang laki-laki dari balik bunga matahari yang menutupi mukanya.
            “Tidak!” ku tarik bunga matahari yang dipegangnya. Terlihat wajah seorang laki-laki seumuranku menatapku kecewa. Bulu matanya seperti kuas tebal tapi juga lentik. Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya tipis. Warna matanya hitam tertutup gelapnya subuh.
            Laki-laki itu berbalik pergi.
            “Hei jangan pergi kau maling! Minta maaflah!” laki-laki itu tidak menjawab.
            Itulah awal segalanya. Laki-laki itu bernama Ei dia ke desaku hanya untuk menghabiskan libur semester. Aku sering melihatnya dipinggir sungai memandang air dan eceng gondok dengan tatapan bosan.
            “Hei pencuri bunga matahari! Jangan coba-coba menyusun rencana untuk mencuri bunga matahari nenek ku lagi!” teriakku dari belakang. Dia menoleh dan tersenyum padaku. Senyumnya begitu, manis.
            “Desa ini sangat membosankan! Bagaimana penduduk desa disini bisa hidup dengan suasana membosankan?! Hah!” jawabnya lantang. Senyum manisnya sekedar topeng rupanya.
            “Enak saja! Kau pikir di kotamu yang penuh dengan polusi lebih membahagiakan? Bisa-bisa orang bisa stres dan cepat mati” jawabku asal.
            Raut mukanya terlihat kaget mendengarku berkata seperti itu. “hemm, kalau begitu buktikan dan tunjukan kebahagiaan yang kau punya di desa ini. Itu pun kalau ada”, ucapnya dengan nada menantang.
            “Mudah saja! Ikut aku!” sahutku bersemangat. Akan ku tunjukan semua kebahagiaan yang ku dapat dari desa ini.
            Ku ajak dia menanam bibit bunga matahari di halamannya agar dia tidak mencoba mencuri lagi. Ku ajarkan dia cara mencari kumbang pagi dengan cara mengendap-endap di antara ratusan bunga matahari, diakhiri dengan menyaksikan fajar mengusir-usir kabut. Ku tantang dia berperang dengan senjata biji semangka di dalam mulut. Ku tantang dia makan kelopak bunga matahari, dan dia benar-benar berhasil menjadi penggemar kelopak bunga matahari mentah.
            Saat ku tanya, “bagaimana rasa kelopak bunga matahari?”
            “Rasanya seperti memakan matahari terbit”, jawabnya sambil memasang senyumnya.  
            Suatu hari nenekku sangat marah karena aku ketauan mengendap-endap diantara bunga-bunga matahari, itu bisa menyebabkan akar bunga matahari rapuh, katanya. Saat itu aku sedang bersama Ei di tengah-tengah hamparan bunga matahari. Aku bersembunyi dari nenekku dan berjarak hanya beberapa senti dari wajah Ei. Sampai-sampai detak jantungku terdengar Ei, mungkin.
            Ei
            Aishiteru
             Cahaya itu dipaksa lenyap di malam sebelum Ei pulang ke rumahnya di kota.
            “Ternyata kau benar-benar bisa menunjukan kebahagiaan yang ada di desa ini, sayangnya aku tidak bisa terus di sini”, ucap Ei pelan. Matanya memandang langit. Berusaha keras menyembunyikan kesedihan.
            “Aku tau, jangan lupakan semua ini”, jawabku.
            Ei menggenggam kedua tangan ku, dan berkata “tidak akan”.
            Aku terpesona dengan mata kelamnya. Jantungku kembali terdengar. Ada sesuatu yang tersangkut di ujung kerongkongan menuju lidah. Sesuatu yang berasal dari hati. Sesuatu yang memaksa untuk diutarakan. Sesuatu yang tak ingin kehilangan laki-laki yang berada di depannya sekarang.
            “Ei.. aku...” sahutku terbata-bata.
Aku berhasil mengucapkannya tepat ketika kembang api meledak di langit tepat di atas kepala kami.
            “Aku tidak bisa mendengarmu! Tapi ada yang ingin ku katakan Ann!”, Ei berteriak agar aku mendengarnya.
            “Apa?!”, aku balik berteriak.
            “Sebenarnya kita saudara!! Aku sangat senang bersaudara dengamu!”
            Detik seperti berhenti. Seketika fakta menyeretku ke dalam kenyataan ‘aku tak bisa mencintai Ei sebagai seorang laki-laki. Ei dan aku tidak akan melewati batas hubungan untaian darah diantara kami’. Kini bintang jatuh itu benar-benar tertelan kelamnya malam.
            “Ann? Jangan bengong! Tadi kau bilang apa?”, sahut Ei sambil memasang senyum yang akan kurindukan.
            “Ti..tidak. Bagaimana bisa kita bersaudara? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya” , jawabku nyerocos.
            “Kelahiranku memang tidak diinginkan oleh nenek kita apalagi kakek. Itu sebabnya aku tidak pernah ikut kumpulan keluarga bersamamu. Ini pertama kalinya aku ke sini”
            Air mataku menetes begitu saja. Ada yang kecewa di balik detak jantung ini. Rasanya seperti ingin bertanya sekeras-kerasnya. MENGAPA? MENGAPA EI?
            “Ann?”, Ei terlihat terkejut melihat reaksiku.
            “A..aku juga se..senang bersaudara denganmu”, jawabku pelan. Pelan sekali.         
            Begitu ya. Begitu.

FIN

Jumat, 26 September 2014

Kau yang Tidak Bisa Ditebak


Kau yang Tidak Bisa Ditebak
By NNaomi
Hans duduk tepat di depanku. Bahunya yang lebar membatasi pandangan ku ke luar jendela perpustakaan. Tatapan matanya seolah menyekat imajinasi. Bibirnya, membuatku merasa seperti orang egois yang membenci seseorang karena hal sepele. Lima menit yang lalu aku membencinya. Sangat membencinya.
“Tulislah”, ucapnya.
“Mengapa tidak kau saja yang menulis naskahnya!!”, jawabku sambil melempar pensil ke arahnya.
“Memangnya siapa yang sutradara?”
Dia mulai memojokanku. Aku diam saja.
Seminggu lagi akan ada pertunjukan drama. Aku sutradaranya. Sekaligus yang membuat naskah drama. Mungkin pentas drama ini akan menjadi yang terakhir, karena tahun depan aku sudah lulus.
“Bukannya kau sendiri yang ingin membuat drama yang bisa membawa perasaan semua penonton?”
Dia benar, aku sendiri yang ingin membuat pertunjukan drama ini berkesan. Tapi, aku benar-benar tidak tau harus menulis apa. Perasaanku benar-benar campur aduk sekarang. Sebelum menulis, aku harus meluruskan pikiranku dulu.
“Mengapa kau mengatakan ke pacarku kalau aku tidak mencintainya lagi?”, tanyaku sambil menahan emosi.
“Bukannya itu benar ya? Habis, kau terlihat memaksakan diri berada di sampingnya”, jawabnya seolah tidak peduli.
SRAKKK!
Ku lempar lembar-lembar naskah yang masih kosong ke arahnya. Kertas-kertas itu menghantam mukanya lalu jatuh berserakan kemana-mana. 
Hans menahan nafas dan menghembuskannya dengan cepat. Lalu bangun dari kursinya dan mulai membereskan satu persatu kertas yang kulempar tadi.
“Kau tau? Pacarku benar-benar percaya kata-katamu. Dia bertanya padaku tentang perasaanku yang sebenarnya. Karena aku kaget, aku tidak menjawabnya. Awalnya dia menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak bisa menemaniku sepanjang hari. Tapi, pada akhirnya dia menyalahkan aku. Dia bilang aku egois, tidak pernah mengerti perasaannya. Dan dia bilang aku mencintai orang lain dan menghianatinya.”  
Pandanganku tiba-tiba kabur. Ada cairan bening yang membiaskan laju cahaya ke dalam mataku. Seperti ada yang menahan nafasku hingga dada ini sesak. Kukepalkan tanganku hingga bergetar menahan kesal.
“Memang seharusnya kau mencintai orang lain”, jawabnya dengan nada acuh tak acuh sambil menyodorkan kertas-kertas ke hadapanku.
“Kau tidak berhak mencampuri urusanku atau perasaanku!!”, cairan bening ini mulai meluncur, menetes deras dari daguku. “Kau tidak tau apa-apa tentang perasaan ini!!”
“Kau benar, aku memang tidak tau apa-apa tentang perasaan atau kisahmu yang sebenarnya. Maka dari itu, kau harus mencurahkannya dalam naskah. Dengan begitu kau akan membuat naskah yang bisa menggerakan perasaan semua penonton.”
“Sial! Ternyata kau hanya memikirkan naskah. Kau benar-benar tidak peduli dengan perasaanku! Kau benar-benar egois! Seenaknya! Tidak punya perasaan! Dan.....”
“Emp..”, Mataku terbelalak.Tiba-tiba dia menciumku. Ku dorong tubuhnya.
PLAKK!!
“Jika hanya naskah yang kau pikirkan, BUATLAH SENDIRI!!”
Aku tidak peduli jika tamparanku menyakitinya. Dia memang pantas mendapatkannya.
Sudah dua hari berlalu. Aku tak pernah menyapanya, atau berbicara dengannya lagi. Bahkan aku berpura-pura menganggapnya tidak ada.
Keesokannya aku melihat mantan pacarku bergandengan dengan gadis lain. Padahal baru saja dua hari kami putus. Saat itu juga aku sadar, sebelum putus dia selingkuh. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Sekarang hanya sedih yang tersisa.
Aku mulai menebak-nebak apa alasan Hans membuatku putus dengan pacarku. Tidak-tidak! Aku sudah tau alasannya pasti dia memanfaatkan hal ini agar aku sedih dan membuat naskah yang sedih pula. Buktinya dia bersikap tidak peduli. Kelakuannya benar-benar kelewatan. Tiba-tiba aku merasa harus kembali ke perpustakaan dan menulis naskah. Mungkin saja rasa sedih ini akan sedikit hilang.
 Sejam kemudian, aku mulai tidak yakin dengan naskah yang telah aku tulis. Mungkin aku harus memperbaiki kata-katanya. Kucari buku-buku yang bisa memacu diksi.
Ketika jari-jari ini menyentuh buku-buku yang berjajar, kejadian-kejadian itu kembali membayang. Mata ini kembali buram. Apa salahku? Kenapa cerita ini begitu runyam?
“Jangan bergerak!”, ucap seorang laki-laki dari belakangku. Aku mencoba menoleh.
“Tolong, jangan menoleh!”, ucap laki-laki itu lagi. Suara ini, suara Hans.
“Dengarkan aku, kau tidak perlu menjawab atau melihatku”
Hans memojokkanku hingga aku bisa mencium bau debu rak-rak buku.
“Aku sudah tidak tahan lagi tidak berbicara denganmu. Aku minta maaf. Aku tidak ingin kau terluka lebih dari ini. Aku...”
“HACHIM!”, tak sengaja aku bersin. Hans langsung membalikkan badanku.
“Kau flu?”
Aku menggeleng lalu memeluknya.
“Kau yang tidak bisa ditebak. Hati ini rasanya sakit. Dia benar-benar bersama orang lain sekarang. Ki..kisah ini benar-benar memuakkan”, bisikku.
“Aku ingin jadi orang yang memperbaiki kisahmu” , jawabnya.

 FIN