Kamis, 29 Mei 2014

Sebuah Cerpen: TOK... TOK... TOK...



           TOK...TOK...TOK...
NNaomi
 
         Jemuran tua di depan pintu kamarku berderit-derit tertiup angin. Sebentar lagi pasti akan hujan sahutku. Padahal siang ini aku ada bimbingan dengan dosen. Bisa-bisa basah kuyup di jalan. Tapi yang terpenting sekarang adalah mengangkati jemuranku yang setengah kering, sebelum di guyur air langit.
            Malas rasanya harus pergi keluar kamar ketika udara sejuk, inginnya sih tidur manis dengan selimut. Ku nyalakan radio untuk membangkitkan semangat. Lalu ku ambil handuk dan masuk ke kamar mandi di dalam kamar.  Guyuran air membuatku tidak bisa mendengar suara radio. Barulah setelah mandi aku sadar, memang tak ada suara radio. Kunyalakan radionya lagi dan bersiap untuk pergi.
            Tak kusangka sinar matahari cepat sekali lenyap. Berbeda dengan air hujan yang menjebakku dalam perjalanan pulang dari kampus. Adzan isya sudah lama berkumandang ketika aku sampai kos-kosan. Bajuku basah kuyup karena hujan tiba-tiba di tengah jalan. Apa boleh buat, aku harus mandi lagi supaya tidak masuk angin. Kunyalakan radio, dan kunaikan volume suaranya. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, terdengar suara temanku dari luar.
            “Nisss! Jemuran lo tuh angkatin, bentar lagi hujan!”
            Tidak, jangan bilang kalau ada jemuran yang terlewat.
            “Iyaaaa, THANK YOU!”, jawabku dari dalam kamar.
            Kuintip jemuranku dari jendela. Kulihat ada kain putih yang berkibar tertiup angin. Lalu aku keluar kamar. Ketika berada di luar, kain itu tidak ada.
            “Jangan bilang kalau tertiup angin”, gerutuku sambil mencari-cari. Karena lama mencari dan tidak ketemu, ku ketuk kamar temanku.
            “Caa, bantu gue nyari jemuran gue dong. Kayanya ketiup angiin! Bisa gawat kalau sampe keluar wilayah kosan!”
            Temanku tidak menjawab.
            “Caaaa... ayo dong jangan molor duluu!”, rengekku di depan pintunya yang terkunci.
            Tapi, tak ada suara sama sekali dari dalam kamar. Kugedor pintunya.
            “Caaa!! Banguuunn!”
            “Nissa? Lo ngapain gedor-gedor pintu kamar gue?”, jawab Ica temanku, tapi bukan dari dalam kamar, tapi dari sampingku.
            “Yampun ca, lo kemana aja? gue pikir lo di dalem. Bantuin gue cari jemuran!”
            “Hah? Jemuran? Sorry, sorry, pagi tadi gue buru-buru jadi ga sempet ngasih tau lo kalau gue pergi bimbingan dan ada diskusi sampe malem,  sorry ya, hehe”
            “hhh... lo.. lo baru pulang?”
            “Iya, kok lo kaget gitu? Pasti lo lagi kelaperan. Heuh, tenang gue bawa nasi goreng”
            Rasanya tidak ada yang bisaku katakan saat itu. Semuanya, semua itu terngiang.
            “Niss, jangan bengong woy, sadar, sadar!!”
            “Gue boleh tidur di kamar lo ,buat malem ini?”, ucapku lemas.
            “Bo..boleh..”, jawab Ica bingung melihat gelagatku.
            Di dalam kamar ica, aku masih memikiran kejadian barusan. Mencari-cari alasan untuk berpikiran positif. Tapi aku gagal total.
            “Nih, makan.. muka lo pucet Nis, lo sakit apa kangen sama gue?”, tanya Ica.
            Aku diam saja, tidak berselera untuk tertawa.
            Setelah nasi goreng habis baruku bercerita.
            “Ca, tadi gue juga pulang malem dan kehujanan. Gue mutusin buat mandi. Tiba-tiba gue denger suara lo teriak, nyuruh gue ngangkatin jemuran. Sebelum gue berangkat udah gue angkatin jemuran gue. Tapi pas gue liat dari jendela, gue ngeliat kain putih beribar-kibar gitu kena angin. Gue pikir itu jemuran gue. Pas gue keluar kain itu udah engga ada. Gue pikir kain itu ketiup angin. Terus gue cariin, tapi engga ada dimana-mana. gue manggil-manggil elo buat minta bantuan. Tapi, ternyata lo baru pulang dari kampus. Gue bingung.”
            “Mungkin Cuma perasaan lo aja kali, Nis”
            “Engga, Ca. gue bener-bener denger lo teriak. Se..sebelumnya juga radio gue tiba-tiba mati”
            “Batrai radio lo habis kali, Niss...”
            “Ca, gue serius. Lagi pula kalau kain putih itu ada di situ sebelum gue berangkat, pasti kain itu bakal basah kena hujan. Tapi yang gue liat dari jendela, kain itu kering, Ca!”
            TOK...TOK...TOK...
            Tiba-tiba pintu kamar Ica di ketuk dari luar. Kami berdua diam sejenak. Lalu, Ica berdiri.
            “Ca, jangan dibuka! Please jangan!”, ucapku bisik-bisik.
            Ica mendekati pintu.
            “Siapa??”, sahut Ica.
            JDDEEERRR
            Ledakan petir di langit membuat aku dan Ica terkaget-kaget.
            “Si..Siapa??”, sahut Ica lagi.
            Hembusan angin dingin masuk dari celah ventilasi. Saat itu juga, inginku tutup mulut Ica agar diam saja. Tapi, ketika aku berdiri ingin menghampiri Ica di dekat pintu, lampu mati. Kamar Ica berubah menjadi ruangan gelap gulita.
            TOKK...
TOKK...
            TOKK...
           
            FIN

Selasa, 27 Mei 2014

Sebuah Cerpen: Ka...Kaki!



            
Ka...Kaki!
NNaomi 
         Hari ini aku dipindahkan kerja ke kantor baru di kawasan industri baru di Kota Karawang. Bayarannya lebih tinggi dari kantor lamaku. Hanya saja tempatnya lumayan jauh dari kos-kosanku. ± 40 menit bila ditempuh dengan motor. Tak apalah yang penting uangnya lancar.
            Kutelusuri jalan raya kawasan industri yang penuh dengan pepohonan rimbun. Rasanya sejuk sekali. Sampailah aku di tempat kerjaku yang baru. Kuparkir motorku dekat pos satpam.
            Di depan pos satpam berdiri laki-laki separuh baya yang berwajah orang jawa. Dia mengenakan peci. Satpam religi mungkin, pikirku.
            “Selamat pagi, Mba Ann”, sapa satpam berwajah jawa padaku.
            “Selamat pagi Pa... Pa Darmo”, jawabku sambil melihat name tagnya.
            “Mba karyawan baru?”, tanyanya
            “Iya nih, Pa. baru dipindahkan kesini”
            “Banyakin baca-baca ya, Mba”
            “Baca-baca?”, jujur saja, aku kurang mengerti soal agama, walaupun di KTPku tertera agamaku islam.
            “Banyak, banyak dzikir, sebut nama Allah”
            Karena tak ingin membicarakan itu, jadi kusudahi, “I..iya, makasih ya, Pa. Permisi, saya masuk dulu.”
            Syukurlah, hari pertamaku kerja lancar-lancar saja. Jam tanganku menunjukan pukul 05:50 PM. Langit sudah menggelap. Sebaiknya aku segera pulang.
            “Pulang, Mba? Sholat Magrib di sini saja, Mba”, sahut Pa Darmo.
            “Saya pulang saja, bisa-bisa kemaleman dijalan, Pa. Selamat malam, Pa”, jawabku sambil menjalankan motorku.
            “Mba..Mba....!”, teriak Pa Darmo memanggilku. Kuhentikan motorku.
            “Ada apa, Pa?”
            “Kalau ada yang ngalangin, klakson aja ya, Mba. Pelan-pelan aja”, jawab pak Darmo.
Aku hanya mengangguk lalu pergi. Kupikir ada yang tertinggal. Pak Darmo tipe satpam yang cerewet menurutku. Padahal aku karyawan baru di sini. Sudahlah kepalaku terlalu pening memikirkan Pa Darmo dan ocehannya.
Udara magrib ini terasa lebih dingin dari pagi tadi. Jalanan sepi sekali. Mungkin kebanyakan karyawan sholat magrib di perusahaan. Yah, sudahlah. Sepi lebih baik.
Kira-kira hari ini makan malam dengan apa ya?
“Ka...Kaki!”, sontak kubanting stir ke arah kanan. Aku menoleh ke belakang tanpa berhenti. Apa yang tadi itu? Mana mungkin kaki sungguhan. Pasti aku salah lihat karena tadi aku melamun soal makanan dan langit sudah gelap.
Keesokan harinya di parkiran Pak Darmo menyapaku lagi.
“Selamat pagi, Mba”
“Selamat pagi, Pak Darmo. O iya, Pa, sepertinya nanti aku bakal pulang telat. Jadi titip motor rada lama ya, Pa”
“Oh iya, Mba. Saya ndak ganti sip kok. Saya sampe malem”
“Saya masuk dulu ya, Pa”
Hari yang sangat-sangat melelahkan. Seperti ingin menyeret kaki menuju parkiran. Sekarang jam 07:10PM. Adzan isya baru saja berkumandang.
“Pa saya pulang dulu ya”
“Alon-alon kelaksone ya, Mba”
Apalah itu artinya, aku balas dengan senyuman lalu pergi.
Dijalan kawasan industri sangat gelap. Lampu hanya di pasang di jalan putar balik. Udaranya seperti ingin hujan. Kupercepat laju motorku. Ketika tiba-tiba ada yang sesuatu di depan.
“Ka...Kaki!”, Kubanting stir ke kanan. Tidak, tidak mungkin itu kaki. Aku berpikiran positif untuk menghilangkan rasa takut. Walaupun aku mencoba berpikiran positif, ada satu hal yang masih menggangguku. Sudah dua kali aku mungkin salah lihat. Tapi, keduanya yang kulihat kaki. Apa itu salah lihat?
Keesokan harinya aku diam saja ketika Pa Darmo menyapa.
Ketika pulang, aku menyempatkan sholat magrib di kantorku dan langsung pulang. Pa Darmo hanya tersenyum ramah ketika aku melewati posnya.
Di jalanan aku mencoba untuk fokus dan tidak memikirkan apa-apa agar aku tidak salah lihat lagi. Tiba-tiba aku melihat ada kaki di depan sana. Bulu kudukku merinding. Tidak salah lagi, itu kaki. Entah kenapa aku teringat kata-kata Pa Darmo, “Kelakson pelan-pelan”. Ku tekan klakson pelan-pelan dan kaki itu menghilang. Entahlah kaki siapa itu, aku tidak berani menghentikan motorku.
Keesokan harinya, aku ingin memastikan omongan Pa Darmo dan menceritakan kejadian kemarin kepadanya. Tapi, hari ini dia tidak ada di posnya. Di posnya hanya ada satpam muda. Mungkin Pa Darmo sakit.
Setelah pekerjaanku selesai, karena takut aku memutuskan sholat magrib di kantor lagi.
Ketika perjalanan pulang, aku melihat Pa Darmo dengan pakaian satpamnya sedang berjalan membelakangi motorku yang sedang melaju. Ku klakson dia. Tapi Pa Darmo tidak menoleh. Ketika sudah hampir dekat dengannya, ku hentikan motorku.
“Pa Darmo! Pa!”, kupanggil Pa Darmo.
            Pa Darmo tidak menoleh.
            “Asalamualaikum! Pa! Pa Darmo!”, kupanggil lagi.
            Pa Darmo menoleh lalu tersenyum padaku.
            “Pa, mau bareng ke depan?”, tanyaku.
            Pa Darmo mengangguk tapi tangannya menunjuk ke arah deretan pohon di sebelah kiriku. Aku menoleh ke arah deretan pohon di sebelah kiriku. Di sana tergeletak sepotong kaki yang di selubungi lalat dengan bau bangkai yang menyengat.
            “Ppp...Pa..Darmo?”, Ucapku tidak percaya. 

FIN