NNaomi
Hari ini aku dipindahkan kerja ke
kantor baru di kawasan industri baru di Kota Karawang. Bayarannya lebih tinggi
dari kantor lamaku. Hanya saja tempatnya lumayan jauh dari kos-kosanku. ± 40
menit bila ditempuh dengan motor. Tak apalah yang penting uangnya lancar.
Kutelusuri jalan raya kawasan
industri yang penuh dengan pepohonan rimbun. Rasanya sejuk sekali. Sampailah
aku di tempat kerjaku yang baru. Kuparkir motorku dekat pos satpam.
Di depan pos satpam berdiri
laki-laki separuh baya yang berwajah orang jawa. Dia mengenakan peci. Satpam
religi mungkin, pikirku.
“Selamat pagi, Mba Ann”, sapa satpam
berwajah jawa padaku.
“Selamat pagi Pa... Pa Darmo”,
jawabku sambil melihat name tagnya.
“Mba karyawan baru?”, tanyanya
“Iya nih, Pa. baru dipindahkan kesini”
“Banyakin baca-baca ya, Mba”
“Baca-baca?”, jujur saja, aku kurang
mengerti soal agama, walaupun di KTPku tertera agamaku islam.
“Banyak, banyak dzikir, sebut nama
Allah”
Karena tak ingin membicarakan itu,
jadi kusudahi, “I..iya, makasih ya, Pa. Permisi, saya masuk dulu.”
Syukurlah, hari pertamaku kerja
lancar-lancar saja. Jam tanganku menunjukan pukul 05:50 PM. Langit sudah
menggelap. Sebaiknya aku segera pulang.
“Pulang, Mba? Sholat Magrib di sini
saja, Mba”, sahut Pa Darmo.
“Saya pulang saja, bisa-bisa
kemaleman dijalan, Pa. Selamat malam, Pa”, jawabku sambil menjalankan motorku.
“Mba..Mba....!”, teriak Pa Darmo
memanggilku. Kuhentikan motorku.
“Ada apa, Pa?”
“Kalau ada yang ngalangin, klakson
aja ya, Mba. Pelan-pelan aja”, jawab pak Darmo.
Aku
hanya mengangguk lalu pergi. Kupikir ada yang tertinggal. Pak Darmo tipe satpam
yang cerewet menurutku. Padahal aku karyawan baru di sini. Sudahlah kepalaku
terlalu pening memikirkan Pa Darmo dan ocehannya.
Udara
magrib ini terasa lebih dingin dari pagi tadi. Jalanan sepi sekali. Mungkin
kebanyakan karyawan sholat magrib di perusahaan. Yah, sudahlah. Sepi lebih
baik.
Kira-kira
hari ini makan malam dengan apa ya?
“Ka...Kaki!”,
sontak kubanting stir ke arah kanan. Aku menoleh ke belakang tanpa berhenti.
Apa yang tadi itu? Mana mungkin kaki sungguhan. Pasti aku salah lihat karena
tadi aku melamun soal makanan dan langit sudah gelap.
Keesokan
harinya di parkiran Pak Darmo menyapaku lagi.
“Selamat
pagi, Mba”
“Selamat
pagi, Pak Darmo. O iya, Pa, sepertinya nanti aku bakal pulang telat. Jadi titip
motor rada lama ya, Pa”
“Oh
iya, Mba. Saya ndak ganti sip kok. Saya sampe malem”
“Saya
masuk dulu ya, Pa”
Hari
yang sangat-sangat melelahkan. Seperti ingin menyeret kaki menuju parkiran.
Sekarang jam 07:10PM. Adzan isya baru saja berkumandang.
“Pa
saya pulang dulu ya”
“Alon-alon
kelaksone ya, Mba”
Apalah
itu artinya, aku balas dengan senyuman lalu pergi.
Dijalan
kawasan industri sangat gelap. Lampu hanya di pasang di jalan putar balik.
Udaranya seperti ingin hujan. Kupercepat laju motorku. Ketika tiba-tiba ada
yang sesuatu di depan.
“Ka...Kaki!”,
Kubanting stir ke kanan. Tidak, tidak mungkin itu kaki. Aku berpikiran positif
untuk menghilangkan rasa takut. Walaupun aku mencoba berpikiran positif, ada
satu hal yang masih menggangguku. Sudah dua kali aku mungkin salah lihat. Tapi,
keduanya yang kulihat kaki. Apa itu salah lihat?
Keesokan
harinya aku diam saja ketika Pa Darmo menyapa.
Ketika
pulang, aku menyempatkan sholat magrib di kantorku dan langsung pulang. Pa
Darmo hanya tersenyum ramah ketika aku melewati posnya.
Di
jalanan aku mencoba untuk fokus dan tidak memikirkan apa-apa agar aku tidak
salah lihat lagi. Tiba-tiba aku melihat ada kaki di depan sana. Bulu kudukku
merinding. Tidak salah lagi, itu kaki. Entah kenapa aku teringat kata-kata Pa
Darmo, “Kelakson pelan-pelan”. Ku tekan klakson pelan-pelan dan kaki itu
menghilang. Entahlah kaki siapa itu, aku tidak berani menghentikan motorku.
Keesokan
harinya, aku ingin memastikan omongan Pa Darmo dan menceritakan kejadian
kemarin kepadanya. Tapi, hari ini dia tidak ada di posnya. Di posnya hanya ada
satpam muda. Mungkin Pa Darmo sakit.
Setelah
pekerjaanku selesai, karena takut aku memutuskan sholat magrib di kantor lagi.
Ketika
perjalanan pulang, aku melihat Pa Darmo dengan pakaian satpamnya sedang
berjalan membelakangi motorku yang sedang melaju. Ku klakson dia. Tapi Pa Darmo
tidak menoleh. Ketika sudah hampir dekat dengannya, ku hentikan motorku.
“Pa
Darmo! Pa!”, kupanggil Pa Darmo.
Pa Darmo tidak menoleh.
“Asalamualaikum! Pa! Pa Darmo!”,
kupanggil lagi.
Pa Darmo menoleh lalu tersenyum
padaku.
“Pa, mau bareng ke depan?”, tanyaku.
Pa Darmo mengangguk tapi tangannya
menunjuk ke arah deretan pohon di sebelah kiriku. Aku menoleh ke arah deretan
pohon di sebelah kiriku. Di sana tergeletak sepotong kaki yang di selubungi
lalat dengan bau bangkai yang menyengat.
“Ppp...Pa..Darmo?”, Ucapku tidak
percaya.
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.