By: NNaomi
“Hanya
kamar ini yang tersisa. Semua penuh. Kau harus berbagi kamar dengan pasien di
sebelahmu ketika cuci darah”, ucap susterku sambil mendorong kursi rodaku yang
berderi-derit ketika digerakan.
“Aku tidak keberatan sama sekali”,
jawabku pelan.
“Kau juga tidak boleh keberatan
untuk tidak mengganggu pasien di sampingmu”
“Aku tidak akan mengganggunya, Kakak”.
Memangnya untuk apa aku mengganggu orang yang tempat tidurnya ditutupi tirai
rapat-rapat?
Aku diam saja ketika Kakakku
memasangkan selang ke tanganku. Ini sudah menjadi rutinitas. Aku sudah terbiasa
dengan waktu yang membosankan ketika cuci darah. Waktu yang memaksaku untuk
menyadari hal-hal yang menakutkan. Waktu yang menyeretu ke dalam kemungkinan
terburuk. Seperti, bagaimana jika mesin pencuci darah ini, tidak lagi bisa
menolong hidupku? Bagaimana caraku mati nanti. Apa aku akan kesakitan? Atau aku akan tenang, karena aku sedang tertidur? Semua
itu mengiang di pikiranku. Sudahku coba mengabaikannya, tapi entah apa yang
harus aku pikirkan lagi.
“Aku harus pergi membantu suster
lain. Tetap disini dan tetaplah tenang”
“Memangnya kapan aku berlari-lari
saat cuci darah? Hah?”, jawabku asal.
Aku benci ditinggalkan. Ayahku,
ibuku, entah apa yang dilakukan mereka di alam baka sekarang. Sepertinya mereka
tidak akan mempedulikan aku walaupun aku sedang sekarat. Aku membenci mereka
karena telah meninggalkanku dan kakakku sendirian di dunia yang tidak ada
bagusnya.
Aku mencoba menenangkan diri.
“Bagaimana cuaca di luar?”, Tanya seseorang
yang berada di balik tirai.
“Apa?”, aku kaget karena tiba-tiba
saja orang itu mengajakku bicara.
“Bagaimana cuaca di luar?”, tanyanya
lagi.
“Baik-baik saja”, jawabku singkat.
“apanya?”
“cuacanya. Kubilang cuacanya
baik-baik saja”
“memangnya kau sedang membicarakan
siapa?”
“apa maksudmu?”, aku bingung
sendiri.
“kau seperti membicarakan seseorang.
Aku menanyakan soal cuaca”
“aku memang sedang membicarakan soal
cuaca!”
Sudah hentikan. Aku tau siapa yang
ada di balik tirai itu. Seorang laki-laki yang menyebalkan yang bertanya soal
cuaca, dan menganggap aku bodoh karena aku mengatakan kalau cuaca baik-baik
saja, padahal cuaca bukanlah orang.
“Bagaimana cuaca hari ini?”, Tanya lagi
dengan nada lebih pelan.
“cuaca hari ini cerah”, jawabku
singkat.
“teruskan”
“matahari menyinari rerumputan yang
hijau. Mereka terlihat berkilau dari atas sini”
“aku bisa merasakanya sekarang. Terima
kasih.”
Apa-apaan orang itu? Dia menanyakan
cuaca. Mengapa dia tidak membuka tirainya dan melihatnya sendiri. Mungkin dia
hanya bersikap ramah padaku. Tapi, itu terasa menyebalkan.
Keesokan harinya, aku datang lagi ke
kamar itu untuk cuci darah. Aku berbaring dan memejamkan mataku, membayangkan
hal-hal yang menyedihkan dan mencoba untuk membiasakan diri dengan kesedihan.
“Bagaimana cuaca hari ini?”, Tanya laki-laki
di balik tirai.
“Mendung. Tidak seperti kemarin. Hari
ini rumput-rumput seperti layu karena tidak dibasuh dengan kilauan cahaya
matahari”, jawabku asal untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu
dengannya.
“Terima kasih. Aku bisa
merasakkannya sekarang”
Setiap harinya ketika aku cuci darah
di ruang itu, laki-lai di belakang tirai selalu bertanya tentang bagaimana
keadaan cuaca di luar sana. Laki-laki itu ingin aku menceritakannya dengan
kata-kata yang indah. Ketika aku bercerita tentang cuaca padanya, aku jadi
tidak punya waktu untuk menyesuaikan diri dengan kesedihan.
Tiba pada suatu hari, orang itu
tidak bertanya sama sekali. Dia hanya diam di balik tirainya. Anehnya, aku
malah menunggu pertanyaannya tentang cuaca. Tapi hari itu dia sama sekali tidak
berbicara.
Keesokan harinya aku masih menunggu
pertanyaannya tentang cuaca hari ini.
“Bagaimana cuaca hari ini?”
Yes, dia menanyakan cuaca lagi
padaku!
“Cuaca hari ini muram. Sinar matahari
hanya mengintip-ngintip dari balik awan. Ritik-rintik hujan membasahi
rumput-rumput yang merindukan matahari. Semua terasa sangat... tidak
menyenangkan”
“Aku bisa merasakannya sekarang. Terima
kasih”
“Hei, mengapa kau tidak bertanya
soal cuaca kemarin? Kau tau aku ada di sini”
Laki-laki itu tidak menjawab. Ruangan
menjadi hening.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”, Tanya
laki-laki di balik tirai padaku.
“Semakin buruk”
“Lanjutkan”
“Tidak ada yang bisa menolong gadis
yang terlahir dengan satu ginjal lemah. Mesin pencuci darah pun mungkin lama
kelamaan akan tidak sanggup. Aku yang akan membunuh diriku sendiri. Racun di
dalam tubuhku yang akan mengakhiri waktu menyedihkan ini”
“Sekarang, lihatlah lagi ke jendela.
Katakan apa yang kau lihat.”, ucapnya.
Pelangi. Aku melihat pelangi yang
indah. Warna-warna pelangi seperti menyentuh ujung-ujung rerumputan yang tadi
layu. Indah sekali. Tapi aku diam saja. Aku tidak mengatakan apa-apa padanya.
“Selalu ada hal indah yang bisa kau
nikmati ketika kau masih hidup. Sesedih apapun kisah hidupmu. Seyakin-yakinnya
kau akan mati besok, masih ada keindahan sederhana yang bisa kau nikmati saat
ini.”, ucapnya seolah-olah dia tau apa yang ada dalam pikiranku.
“Aku benar-benar tidak mengerti”,
jawabku lirih
“Kau akan segera mengerti. Pasti. Karena
kau adalah keindahan sederhana itu. Kata-katamu adalah keindahan yang sederhana
yang bisa aku rasakan saat ini. Oh lihat lah, aku melihat cahaya.”
“Apa maksudmu?”
Tiba-tiba kakakku datang.
“Oke, Alice waktunya kau pergi”,
ucap kakaku sambil membereskan selang-selang.
“tunggu sebentar. Hei apa maksudmu?”
tanganku mencoba meraih tirai-tirai yang tertutup rapat itu. Agar aku bisa
melihat laki-laki itu.
Namun tidak ada jawaban.
“Apa yang kau lakukan Alice? Hentikan”
Tiba-tiba air mataku mengalir. Aku kesal
karena tidak bisa menggapai tirai itu. Ku putuskan untuk membukanya esok hari. Aku
merasa harus melihat laki-laki itu sebelum aku mati di tempat suram seperti
rumah sakit ini.
Keesokan harinya, ketika aku datang,
tirai itu telah terbuka lebar. Namun kasur itu telah kosong.
“Apa yang terjadi? Kemana laki-laki
itu pergi? Apa yang terjadi pada laki-laki itu?!” tanyaku sambil sedikit
berteriak.
“Dia sudah pergi Alice”
“Kemana dia pergi?”, aku belum juga
mengerti.
“Laki-laki itu telah pergi lebih
dulu. Itu saja”
Tiba-tiba air mataku tumpah
membanjiri pipi. Dadaku sesak menahan marah.
“mengapa dia harus pergi? MENGAPA?! Aku
belum sempat melihatnya!”
Kakakku berlutut memandangku.
“Terima kasih, Alice. Aku tau kau
berbicara padanya. Aku tau kau telah menguatkannya. Hidupnya sangat berat. Sebagai
suster, aku malah tidak bisa menyemangatinya.”
Apa yang kakakku bicarakaan? Aku menguatkan
laki-laki itu? Malah sebaliknya, laki-laki itu yang mengajariku untuk tetap
hidup menikmati hal indah yang sederhana.
“Seberat apa hidupnya?”, Tanyaku.
“Dia menderita kanker otak. Semua cara
telah dia lalui. uangnya habis untuk pengobatannya. Karena semua cara gagal dia
memutuskan untuk berhenti dan tinggal di kamar ini”
“Dia menanyakan soal cuaca padaku.
Dia ingin aku berbicara.”, ucapku sedih.
“Tidak, dia ingin berbicara, tapi
itu terlalu sulit. Dia menanyakan cuaca padamu, karena dia buta”
Aku semakin terpukul mendengarnya. Sekarang
laki-laki itu membuatku merasa bersalah karena tidak menceritakan cuaca yang
indah padanya atau menceritakan pelangi yang kemarin kulihat. Laki-laki itu
membuatku merasa bersalah karena aku tidak menceritakan banyak hal yang
menyenangkan.
“Mengapa dia harus mati? Kenapa orang-orang
harus mati?”
Aku terisak seperti anak kecil. Mengapa?
Padahal kemarin dia bilang dia melihat cahaya. Bukan kah kemarin dia jadi bisa
melihat kembali?
“Karena, memang seharusnya begitu,
Alice”
LA FIN