Selasa, 04 Maret 2014

Sebuah Cerpen: Laki-Laki Penanya Cuaca

         By: NNaomi
  Hanya kamar ini yang tersisa. Semua penuh. Kau harus berbagi kamar dengan pasien di sebelahmu ketika cuci darah”, ucap susterku sambil mendorong kursi rodaku yang berderi-derit ketika digerakan.
            “Aku tidak keberatan sama sekali”, jawabku pelan.
            “Kau juga tidak boleh keberatan untuk tidak mengganggu pasien di sampingmu”
            “Aku tidak akan mengganggunya, Kakak”. Memangnya untuk apa aku mengganggu orang yang tempat tidurnya ditutupi tirai rapat-rapat?
            Aku diam saja ketika Kakakku memasangkan selang ke tanganku. Ini sudah menjadi rutinitas. Aku sudah terbiasa dengan waktu yang membosankan ketika cuci darah. Waktu yang memaksaku untuk menyadari hal-hal yang menakutkan. Waktu yang menyeretu ke dalam kemungkinan terburuk. Seperti, bagaimana jika mesin pencuci darah ini, tidak lagi bisa menolong hidupku? Bagaimana caraku mati nanti. Apa aku akan kesakitan? Atau  aku akan tenang, karena aku sedang tertidur? Semua itu mengiang di pikiranku. Sudahku coba mengabaikannya, tapi entah apa yang harus aku pikirkan lagi.
            “Aku harus pergi membantu suster lain. Tetap disini dan tetaplah tenang”
            “Memangnya kapan aku berlari-lari saat cuci darah? Hah?”, jawabku asal.
            Aku benci ditinggalkan. Ayahku, ibuku, entah apa yang dilakukan mereka di alam baka sekarang. Sepertinya mereka tidak akan mempedulikan aku walaupun aku sedang sekarat. Aku membenci mereka karena telah meninggalkanku dan kakakku sendirian di dunia yang tidak ada bagusnya.
            Aku mencoba menenangkan diri.
            “Bagaimana cuaca di luar?”, Tanya seseorang yang berada di balik tirai.
            “Apa?”, aku kaget karena tiba-tiba saja orang itu mengajakku bicara.
            “Bagaimana cuaca di luar?”, tanyanya lagi.
            “Baik-baik saja”, jawabku singkat.
            “apanya?”
            “cuacanya. Kubilang cuacanya baik-baik saja”
            “memangnya kau sedang membicarakan siapa?”
            “apa maksudmu?”, aku bingung sendiri.
            “kau seperti membicarakan seseorang. Aku menanyakan soal cuaca”
            “aku memang sedang membicarakan soal cuaca!”
            Sudah hentikan. Aku tau siapa yang ada di balik tirai itu. Seorang laki-laki yang menyebalkan yang bertanya soal cuaca, dan menganggap aku bodoh karena aku mengatakan kalau cuaca baik-baik saja, padahal cuaca bukanlah orang.
            “Bagaimana cuaca hari ini?”, Tanya lagi dengan nada lebih pelan.
            “cuaca hari ini cerah”, jawabku singkat.
            “teruskan”
            “matahari menyinari rerumputan yang hijau. Mereka terlihat berkilau dari atas sini”
            “aku bisa merasakanya sekarang. Terima kasih.”
            Apa-apaan orang itu? Dia menanyakan cuaca. Mengapa dia tidak membuka tirainya dan melihatnya sendiri. Mungkin dia hanya bersikap ramah padaku. Tapi, itu terasa menyebalkan.
            Keesokan harinya, aku datang lagi ke kamar itu untuk cuci darah. Aku berbaring dan memejamkan mataku, membayangkan hal-hal yang menyedihkan dan mencoba untuk membiasakan diri dengan kesedihan.
            “Bagaimana cuaca hari ini?”, Tanya laki-laki di balik tirai.
            “Mendung. Tidak seperti kemarin. Hari ini rumput-rumput seperti layu karena tidak dibasuh dengan kilauan cahaya matahari”, jawabku asal untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu dengannya.
            “Terima kasih. Aku bisa merasakkannya sekarang”
            Setiap harinya ketika aku cuci darah di ruang itu, laki-lai di belakang tirai selalu bertanya tentang bagaimana keadaan cuaca di luar sana. Laki-laki itu ingin aku menceritakannya dengan kata-kata yang indah. Ketika aku bercerita tentang cuaca padanya, aku jadi tidak punya waktu untuk menyesuaikan diri dengan kesedihan.
            Tiba pada suatu hari, orang itu tidak bertanya sama sekali. Dia hanya diam di balik tirainya. Anehnya, aku malah menunggu pertanyaannya tentang cuaca. Tapi hari itu dia sama sekali tidak berbicara.
            Keesokan harinya aku masih menunggu pertanyaannya tentang cuaca hari ini.
            “Bagaimana cuaca hari ini?”
            Yes, dia menanyakan cuaca lagi padaku!
            “Cuaca hari ini muram. Sinar matahari hanya mengintip-ngintip dari balik awan. Ritik-rintik hujan membasahi rumput-rumput yang merindukan matahari. Semua terasa sangat... tidak menyenangkan”
            “Aku bisa merasakannya sekarang. Terima kasih”
            “Hei, mengapa kau tidak bertanya soal cuaca kemarin? Kau tau aku ada di sini”
            Laki-laki itu tidak menjawab. Ruangan  menjadi hening.
            “Bagaimana keadaanmu sekarang?”, Tanya laki-laki di balik tirai padaku.
            “Semakin buruk”
            “Lanjutkan”
            “Tidak ada yang bisa menolong gadis yang terlahir dengan satu ginjal lemah. Mesin pencuci darah pun mungkin lama kelamaan akan tidak sanggup. Aku yang akan membunuh diriku sendiri. Racun di dalam tubuhku yang akan mengakhiri waktu menyedihkan ini”
            “Sekarang, lihatlah lagi ke jendela. Katakan apa yang kau lihat.”, ucapnya.
            Pelangi. Aku melihat pelangi yang indah. Warna-warna pelangi seperti menyentuh ujung-ujung rerumputan yang tadi layu. Indah sekali. Tapi aku diam saja. Aku tidak mengatakan apa-apa padanya.
            “Selalu ada hal indah yang bisa kau nikmati ketika kau masih hidup. Sesedih apapun kisah hidupmu. Seyakin-yakinnya kau akan mati besok, masih ada keindahan sederhana yang bisa kau nikmati saat ini.”, ucapnya seolah-olah dia tau apa yang ada dalam pikiranku.
            “Aku benar-benar tidak mengerti”, jawabku lirih
            “Kau akan segera mengerti. Pasti. Karena kau adalah keindahan sederhana itu. Kata-katamu adalah keindahan yang sederhana yang bisa aku rasakan saat ini. Oh lihat lah, aku melihat cahaya.”
            “Apa maksudmu?”
            Tiba-tiba kakakku datang.
            “Oke, Alice waktunya kau pergi”, ucap kakaku sambil membereskan selang-selang.
            “tunggu sebentar. Hei apa maksudmu?” tanganku mencoba meraih tirai-tirai yang tertutup rapat itu. Agar aku bisa melihat laki-laki itu.
            Namun tidak ada jawaban.
            “Apa yang kau lakukan Alice? Hentikan”     
            Tiba-tiba air mataku mengalir. Aku kesal karena tidak bisa menggapai tirai itu. Ku putuskan untuk membukanya esok hari. Aku merasa harus melihat laki-laki itu sebelum aku mati di tempat suram seperti rumah sakit ini.
            Keesokan harinya, ketika aku datang, tirai itu telah terbuka lebar. Namun kasur itu telah kosong.
            “Apa yang terjadi? Kemana laki-laki itu pergi? Apa yang terjadi pada laki-laki itu?!” tanyaku sambil sedikit berteriak.
            “Dia sudah pergi Alice”
            “Kemana dia pergi?”, aku belum juga mengerti.
            “Laki-laki itu telah pergi lebih dulu. Itu saja”
            Tiba-tiba air mataku tumpah membanjiri pipi. Dadaku sesak menahan marah.
            “mengapa dia harus pergi? MENGAPA?! Aku belum sempat melihatnya!”
            Kakakku berlutut memandangku.
            “Terima kasih, Alice. Aku tau kau berbicara padanya. Aku tau kau telah menguatkannya. Hidupnya sangat berat. Sebagai suster, aku malah tidak bisa menyemangatinya.”
            Apa yang kakakku bicarakaan? Aku menguatkan laki-laki itu? Malah sebaliknya, laki-laki itu yang mengajariku untuk tetap hidup menikmati hal indah yang sederhana.
            “Seberat apa hidupnya?”, Tanyaku.
            “Dia menderita kanker otak. Semua cara telah dia lalui. uangnya habis untuk pengobatannya. Karena semua cara gagal dia memutuskan untuk berhenti dan tinggal di kamar ini”
            “Dia menanyakan soal cuaca padaku. Dia ingin aku berbicara.”, ucapku sedih.
            “Tidak, dia ingin berbicara, tapi itu terlalu sulit. Dia menanyakan cuaca padamu, karena dia buta”
            Aku semakin terpukul mendengarnya. Sekarang laki-laki itu membuatku merasa bersalah karena tidak menceritakan cuaca yang indah padanya atau menceritakan pelangi yang kemarin kulihat. Laki-laki itu membuatku merasa bersalah karena aku tidak menceritakan banyak hal yang menyenangkan.  
            “Mengapa dia harus mati? Kenapa orang-orang harus mati?”
            Aku terisak seperti anak kecil. Mengapa? Padahal kemarin dia bilang dia melihat cahaya. Bukan kah kemarin dia jadi bisa melihat kembali?
            “Karena, memang seharusnya begitu, Alice”

LA FIN
           
             
           
            

Minggu, 02 Maret 2014

Sebuah Cerpen: Setangkai Mawar Biru

          By: NNaomi  
Bendera kuning berkibar dengan lesu di ujung pagar sebuah rumah yang sederhana. Anak-anak remaja masih dengan seragam SMAN 1, duduk tertunduk di bangku hijau ala kondangan di depan rumah sederhana itu. Guru-guru dengan seragam rapih mereka, bergantian memasuki rumah untuk sekedar menyapa keluarga yang berduka.
***
Hari terakhir Pak Cipto mengajar di SMAN 1, beliau mengatakan pada murid-murid dan rekan kerjanya bahwa dirinya sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar sekolah, dirinya sangat bangga pada muridnya yang sudah berusaha keras menuntut ilmu. Beliau bangga dengan rekan kerjanya yang semangat memberi ilmu. Beliau berjalan menuju gerbang sekolah sambil menenteng tas coklatnya yang sudah lusuh.
Sudah satu bulan Pak Cipto tidak mengajar. Badannya malah menjadi tidak karuan rasanya. Pagi hari tangannya pegal-pegal. Siangnya mengeluh soal mulutnya yang kaku karena sedikit berbicara. Malamnya, Pak Cipto tidur dengan mengayun-ayunkan tangannya sambil bergumam soal rumus fisika. Pak Cipto benar-benar rindu mengajar di sekolah.
Pak Cipto menyeruput teh, lalu berbicara pada istrinya, “Bingung aku ini, Bu. Istirahat ngajar mbok yo bikin sehat, malah dadi pegel-pegel tanganku iki.”, beliau menyeruput lagi tehnya.
“yowis, Bapa ngajar  di SMA Harapan Pelita saja. Tapi, ora usah full” , jawab istrinya yang sudah bosan mendengarkan keinginan suaminya untu mengajar lagi. Dalam hati, istrinya khawatir dengan kondisi jantung suaminya.
Sudah diputuskan, hari ini Pak Cipto akan kembali mengajar. Jadwalya hanya dua jam pelajaran perharinya. Kata dokter, itu tidak akan memperburuk kondisi jantungnya.
Ketika masuk kelas XI IPA 8, hidungnya disapa dengan bau asap rokok yang masih menempel di baju murid-murid. Telinganya disapa dengan kegaduhan kelas yang parah. Matanya disapa dengan ruangan kelas yang berantakan dan murid-murid yang duduk di atas meja. Murid-murid menatap Pak Cipto sambil mengeluhkan kedatangannya.
Sikap anak-anak di sini sangat jauh berbeda dengan sikap anak-anak di sekolahnya dulu. Murid-murid di sini menganggap guru hanyalah boneka yang memainkan peran demi uang. Boneka yang bisa dijadikan teman. Boneka yang bisa diacuhkan karena dianggap benda mati. Bahkan boneka yang bisa dijadikan sampah karena tidak lagi bisa dimainkan. Guru hanya dijadikan mesin pemberi nilai yang memiliki hati nurani pada mereka, yang tidak akan tega memberi nilai buruk di rapot. Di sekolah ini sopan santun pada guru telah menguap entah kemana.  
Hari demi hari yang berat dilalui oleh Pak Cipto. Pak Cipto hanya bisa diam dan ekstra menahan amarahnya. Pak Cipto memang tipikal guru yang tidak pernah marah. Menurutnya, apabila dia marah pada muridnya, itu sama saja dengan membuang pahala yang selama ini telah ia kumpulkan. Pak Cipto juga sangat maklum dengan murid-murid yang tidak suka fisika, karena menurutnya setiap murid memiliki bakat dan minatnya masing-masing.
Pada suatu waktu, Pak Cipto mengajar di jam pertama setelah upacara. Beliau menerangkan soal fluida statis. Tiba-tiba seorang siswi masuk ke kelas tanpa permisi padanya dan langsung duduk di bangku tengah.
“Kamu, besok jangan terlambat lagi ya”, sahut Pak Cipto sambil mendekati siswi tersebut.  
“Gue pikir lagi engga ada guru! Habis gurunya engga keliatan sangking kurusnya! Hahaha” ,jawab siswi itu sambil berteriak. Seisi kelas langsung dipenuhi dengan gelak tawa dan sorakan-sorakan.
Pak Cipto menggenggam jari jemarinya yang keriput, lalu melemaskannya kembali. perasaannya sangat tersinggung waktu itu. Tapi, beliau memilih untuk tidak membalas dengan kemarahan agar ejekan pada dirinya tidak berlanjut. Pak Cipto berbalik menuju papan tulis, dan kembali menjelaskan soal fluida statis agar siswi yang baru saja datang  tidak tertinggal.
Tiba-tiba siswi yang tadi terlambat berteriak, “Woy, gue bawa jambu nih! Siapa yang mau? Cung!”, tangannya mengangkat sekantong jambu batu.
Siswa yang duduk di depan mengacungkan tangannya, siswi yang di belakang juga. Siswi yang tadi terlambat melemparkan jambu itu pada temannya yang di depan. Lalu melemparkan jambu itu ke temannya yang duduk di belakang. Seketika kelas menjadi medan lempar tangkap jambu batu. Gaduh, sangat gaduh.
Pak Cipto memandang murid-muridnya yang sedang main lempar tangkap ketika dirinya sedang mengajar di depan kelas. Pak Cipto mengelus dadanya. “sabar, sabar”, gumamnya pada diri sendiri.
“Sudah, sudah. Perhatikan yaa, materi ini akan keluar di ujian nasional nanti”, Teriakkan Pak Cipto masih kalah dengan kegaduhan kelas. Tidak seorang pun yang mendengarnya.
Seorang siswa yang duduk di depan Pak Cipto, menggigit jambu batu itu. Tiba-tiba siswa itu memuntahkan jambu itu dan muntahan itu hampir saja mengenai sepatu hitam Pak Cipto.
“Pyuh! Jambu apaan nih, woy! Belum mateng ini mah! Minta lagi gue!”
Pak Cipto hanya diam saja sambil berpaling dan kembali menerangkan soal fluida statis tanpa satu pun siswa yang mendengarkannya. Tanpa sepasang mata pun yang memperhatikannya. Hanya suara murid-muridnya yang beradu dengan suaranya.
Sepulang mengajar, Pak Cipto duduk dengan istrinya. Matanya mulai berair. Beliau menangis tanpa berkata apa-apa. Istrinya mencoba menenangkan. Ketika Pak Cipto sudah tenang, beliau baru bercerita soal kejadian tadi pagi di sekolah.
“ Sudah pa, sudaah... biarin aja to, anak orang ini yang endak bener. Sudah, ojo dipikirin, Pa. Sing penting Bapa dah ngajari yang baik-baik. Biar gusti Allah yang menilai, Pa”, jawab istrinya setelah mendengar kejadian itu.
Pak Cipto hanya diam. Hatinya masih terasa sakit. Badannya terasa sangat lelah. Beliau memutuskan untuk beristirahat.
Dalam mimpinya dia mendengar suara-suara gaduh. Suara gaduh itu mirip sekali dengan suara gaduh di dalam kelas tadi pagi. Tiba-tiba sunyi. Sunyi sekali. Suara kegaduhan itu pergi entah kemana. Sekarang terdengar suara-suara lembut.
            “Cipto, kamu sudah menjadi guru yang baik, panutan yang baik selama mengajar. Allah akan membalas semua kebaikanmu.” , bisik suara-suara lembut itu.
            Pak Cipto tersenyum lalu membuka matanya. Beliau bangun dan mengambil segelas air. Beliau merasa sangat haus. Tiba-tiba dadanya terasa sesak sulit bernafas. Tubuhnya terasa lemas. Jantung, penyakit jantungnya kambuh.
            “ Prangggg!!!”, suara gelas jatuh memecahkan keheningan malam.
Suara itu yang menutup kesabaran seorang guru fisika selama ini.
Tak ada seorang pun murid yang tau, tak ada seorang pun murid Harapan  Pelita  yang peduli.
Jika aku murid Pak Cipto, terimalah setangkai mawar biru ini dariku.
LA  FIN


Sabtu, 01 Maret 2014

Sebuah Cerpen: Sesuatu Hal yang Berdiri Di Pojokan Hati

         By: NNaomi
  Matahari bersinar seperti biasanya. Awan hanya berjalan-jalan di atas langit. Angin berhembus lembut mendinginkan suasana. Membuat nyaman kami yang sedang duduk di depan kelas. Duduk sambil membicarakan apa saja yang terpikirkan. Pembicaraan yang sepele tapi menghidupkan suasana. 
            Tiba-tiba terdengar sebuah lagu disela-sela tawa kami. Lagu yang universal. Lagu yang selalu dinyanyikan berbarengan. Kecuali, untuk orang yang benar-benar terisolasi. Lagu happy birthday. Kami melihat ke arah sebelah, sambil acuh tak acuh dengan perayaan ulang tahun itu.
            Aku tersenyum sambil berpikir, indahnya ulang tahun ke-17. Momen sekali seumur hidup. momen yang tidak diwajibkan dirayakan. Aku menoleh lagi karena lagu itu semakin keras saja. Mata ini tiba-tiba diam memperhatikan. O..orang itu ulang tahun? Laki-laki yang berdiri di depan kue berlilin dan dinyanyikan oleh teman-temannya.
            Tiba-tiba pikiran ini mencari-cari tanggal di dalam ingatan. Aku benar-benar tidak ingat hari ini tanggal berapa. Akhir-akhir ini aku tidak meperhatikan tanggalan. Seolah-olah tidak ada momen yang penting dan tidak ada hari yang spesial yang harus ditunggu.
            “Emangnya sekarang tanggal berapa?”, tanyaku spontan pada teman-teman.
            “1 maret. Kenapa emang?”
            Padahal tidak ada mobil yang ingin menabrakku, tapi jantung ini spontan berdegup kencang.
            Bulan februari tahun ini sepertinya aku amnesia tanggal. Tahun lalu aku menunggu-nunggu satu hari di bulan februari. Tahun ini aku hanya diam saja. Tidak memikirkan angka-angka bisu ditanggalan. Tahun ini aku membiarkan hari ulang tahunnya berlalu begitu saja. Aku merasa bersalah. 4 hari yang lalu, hari ulang tahunnya. 4 hari yang lalu aku sama sekali tidak mengingatnya.
            Aku mulai gugup. Teman-temanku bilang, belum telat ngucapin selamat ulang tahun sekarang. Jelas-jelas sudah telat 4 hari! Tapi dari pada tidak sama sekali. Masalahnya aku tidak mempersiapkan apa-apa. Nyalipun aku tidak ada.  Temanku bilang, berilah yang sederhana jika kamu tida bisa memberinya yang spesial.
            Entah apa yang aku pikirkan, ku tarik temanku menuju kantin. Membuat kue ulang tahun seadanya. Kue ulang tahun jadi-jadian.
            Sekarang aku panas dingin. Untuk apa sebenarnya kue ulang tahun jadi-jadian ini? jika nyali saja belum kugali. Teman-temanku mulai ribut. Aku mulai kebingungan. Terlintas sejenak untuk membagikan kue ulang tahun jadi-jadian itu. Memakannya sama-sama seperti tahun lalu.
            Teman-temanku tidak mau aku memakan kue jadi-jadian itu. Mereka memanggil laki-laki yang tadi berdiri di belakang kue ulang tahun sungguhan dengan lilin sungguhan.
            Rasa apa ini?! rasa ini membuatku benar-benar tidak nyaman. Rasa ini benar-benar membuat mukaku terasa terbakar malu. Rasa ini benar-benar membuat jari-jari bergetar. Rasa ini membuat mulut ingin memuntahkan sesuatu. Memuntahkan tawa, kata, atau bahkan isi perut. Aku menyodorkan kue jadi-jadian dihadapannya. Aku mencoba untuk senyum semanis mungkin tapi malah terkesan dipaksakan. Karena dipaksakan, malah senyum kuda yang keluar.
            Dia tersenyum padaku. Aku tidak berani mendeskripsikan arti senyuman itu. Aku hanya menduga-duga, itu adalah senyum terima kasih yang tulus atau senyum penutup kecewanya karena aku melupakan ulang tahunnya. Kuperdebatkan senyum itu sejenak, sambil menatapnya. Tidak, tidak, laki-laki yang tadi berdiri di belakang kue ulang tahun dengan lilin sungguhan bukan orang yang mempermasalahkan soal senyuman. Jadi untuk apa aku perdebatkan arti senyumnya padaku.
            Teman-temanku menyanyikan lagu universal dan menyuruh laki-laki itu meniup lilin yang ada pada kue ulang tahun jadi-jadian.
            Dia meniup lilin di atas kue jadi-jadian yang kubuat. Tanganku semakin lemas karena kutahan agar tidak bergetar dan menjatuhkan kuenya. Setelah lilin itu padam, aku tersenyum.
            Sedetik setelah laki-laki itu mengatakan terima kasih, aku menyadari sesuatu. Sesuatu hal yang tidak seharusnya kusadari. Sesuatu hal yang mungkin sudah lama berdiri dipojokan hatiku menunggu untuk dilihat.
            Aku mulai menyalahkan diriku sendiri, tentang bagaimana aku bisa lupa tanggal. Karena tak mau menyalahkan diri sendiri, kucari alasannya. Mungkin itu karena aku tidak ingin benar-benar mengingat tanggal yang membuatku menunggu seperti tahun lalu. tahun lalu aku menunggu laki-laki yang tadi meniup lilin jadi-jadian, untuk meniup lilin di kue ulang tahun yang aku bawa. Kue ulang tahun yang pada akhirnya dimakan bersama. Lilin yang pada akhirnya ku nyalakan di atas meja dan ku tiup dengan harapan agar dia lekas sembuh dari penyakitnya.
            Aku mulai menyalahkan diriku sendiri, tetang bagaimana aku berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenali. Menjadi seseorang yang seolah-olah sedang tergila-gila dengan seorang laki-laki.  Menjadi seseorang yang dikuasai rasa aneh dalam hatinya. Padahal ketika aku diam sejenak aku merasa itu bukan diriku. Aku tidak benar-benar merasakan apa yang aku perbuat. Entahlah, aku bingung mendeskripsikannya.
            Ketika kulihat dia berpaling dan menjauh dariku membawa kue ulang tahun jadi-jadian itu. Aku baru melihat hal yang sudah lama berdiri di pojokan hatiku. Hal yang menunggu untuk terlihat. Hal itu adalah kesadaranku bahwa aku sebenarnya tidak benar-benar menyukai atau mencintainya seperti satu tahun lalu. kesadaranku bahwa aku sebenarnya tidak benar-benar peduli dengannya sekarang. Kesadaranku bahwa sekarang aku adalah pengagum dia yang tak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Kesadaranku bahwa sekarang aku benar-benar tidak sanggup mendeskripsikan rasa tentang dirinya yang mulai layu dalam hatiku.

LA FIN