By: NNaomi
Bendera
kuning berkibar dengan lesu di ujung pagar sebuah rumah yang sederhana. Anak-anak
remaja masih dengan seragam SMAN 1, duduk tertunduk di bangku hijau ala
kondangan di depan rumah sederhana itu. Guru-guru dengan seragam rapih mereka,
bergantian memasuki rumah untuk sekedar menyapa keluarga yang berduka.
***
Hari
terakhir Pak Cipto mengajar di SMAN 1, beliau mengatakan pada murid-murid dan
rekan kerjanya bahwa dirinya sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar
sekolah, dirinya sangat bangga pada muridnya yang sudah berusaha keras menuntut
ilmu. Beliau bangga dengan rekan kerjanya yang semangat memberi ilmu. Beliau berjalan
menuju gerbang sekolah sambil menenteng tas coklatnya yang sudah lusuh.
Sudah
satu bulan Pak Cipto tidak mengajar. Badannya malah menjadi tidak karuan
rasanya. Pagi hari tangannya pegal-pegal. Siangnya mengeluh soal mulutnya yang kaku
karena sedikit berbicara. Malamnya, Pak Cipto tidur dengan mengayun-ayunkan
tangannya sambil bergumam soal rumus fisika. Pak Cipto benar-benar rindu
mengajar di sekolah.
Pak
Cipto menyeruput teh, lalu berbicara pada istrinya, “Bingung aku ini, Bu. Istirahat
ngajar mbok yo bikin sehat, malah dadi pegel-pegel tanganku iki.”, beliau menyeruput
lagi tehnya.
“yowis,
Bapa ngajar di SMA Harapan Pelita saja. Tapi,
ora usah full” , jawab istrinya yang sudah bosan mendengarkan keinginan
suaminya untu mengajar lagi. Dalam hati, istrinya khawatir dengan kondisi
jantung suaminya.
Sudah
diputuskan, hari ini Pak Cipto akan kembali mengajar. Jadwalya hanya dua jam
pelajaran perharinya. Kata dokter, itu tidak akan memperburuk kondisi
jantungnya.
Ketika
masuk kelas XI IPA 8, hidungnya disapa dengan bau asap rokok yang masih menempel
di baju murid-murid. Telinganya disapa dengan kegaduhan kelas yang parah. Matanya
disapa dengan ruangan kelas yang berantakan dan murid-murid yang duduk di atas
meja. Murid-murid menatap Pak Cipto sambil mengeluhkan kedatangannya.
Sikap
anak-anak di sini sangat jauh berbeda dengan sikap anak-anak di sekolahnya
dulu. Murid-murid di sini menganggap guru hanyalah boneka yang memainkan peran
demi uang. Boneka yang bisa dijadikan teman. Boneka yang bisa diacuhkan karena
dianggap benda mati. Bahkan boneka yang bisa dijadikan sampah karena tidak lagi
bisa dimainkan. Guru hanya dijadikan mesin pemberi nilai yang memiliki hati
nurani pada mereka, yang tidak akan tega memberi nilai buruk di rapot. Di
sekolah ini sopan santun pada guru telah menguap entah kemana.
Hari
demi hari yang berat dilalui oleh Pak Cipto. Pak Cipto hanya bisa diam dan
ekstra menahan amarahnya. Pak Cipto memang tipikal guru yang tidak pernah
marah. Menurutnya, apabila dia marah pada muridnya, itu sama saja dengan
membuang pahala yang selama ini telah ia kumpulkan. Pak Cipto juga sangat
maklum dengan murid-murid yang tidak suka fisika, karena menurutnya setiap
murid memiliki bakat dan minatnya masing-masing.
Pada
suatu waktu, Pak Cipto mengajar di jam pertama setelah upacara. Beliau menerangkan
soal fluida statis. Tiba-tiba seorang siswi masuk ke kelas tanpa permisi
padanya dan langsung duduk di bangku tengah.
“Kamu,
besok jangan terlambat lagi ya”, sahut Pak Cipto sambil mendekati siswi
tersebut.
“Gue
pikir lagi engga ada guru! Habis gurunya engga keliatan sangking kurusnya! Hahaha”
,jawab siswi itu sambil berteriak. Seisi kelas langsung dipenuhi dengan gelak
tawa dan sorakan-sorakan.
Pak
Cipto menggenggam jari jemarinya yang keriput, lalu melemaskannya kembali. perasaannya
sangat tersinggung waktu itu. Tapi, beliau memilih untuk tidak membalas dengan
kemarahan agar ejekan pada dirinya tidak berlanjut. Pak Cipto berbalik menuju
papan tulis, dan kembali menjelaskan soal fluida statis agar siswi yang baru
saja datang tidak tertinggal.
Tiba-tiba
siswi yang tadi terlambat berteriak, “Woy, gue bawa jambu nih! Siapa yang mau?
Cung!”, tangannya mengangkat sekantong jambu batu.
Siswa
yang duduk di depan mengacungkan tangannya, siswi yang di belakang juga. Siswi yang
tadi terlambat melemparkan jambu itu pada temannya yang di depan. Lalu melemparkan
jambu itu ke temannya yang duduk di belakang. Seketika kelas menjadi medan
lempar tangkap jambu batu. Gaduh, sangat gaduh.
Pak
Cipto memandang murid-muridnya yang sedang main lempar tangkap ketika dirinya
sedang mengajar di depan kelas. Pak Cipto mengelus dadanya. “sabar, sabar”,
gumamnya pada diri sendiri.
“Sudah,
sudah. Perhatikan yaa, materi ini akan keluar di ujian nasional nanti”,
Teriakkan Pak Cipto masih kalah dengan kegaduhan kelas. Tidak seorang pun yang
mendengarnya.
Seorang
siswa yang duduk di depan Pak Cipto, menggigit jambu batu itu. Tiba-tiba siswa
itu memuntahkan jambu itu dan muntahan itu hampir saja mengenai sepatu hitam
Pak Cipto.
“Pyuh!
Jambu apaan nih, woy! Belum mateng ini mah! Minta lagi gue!”
Pak
Cipto hanya diam saja sambil berpaling dan kembali menerangkan soal fluida
statis tanpa satu pun siswa yang mendengarkannya. Tanpa sepasang mata pun yang
memperhatikannya. Hanya suara murid-muridnya yang beradu dengan suaranya.
Sepulang
mengajar, Pak Cipto duduk dengan istrinya. Matanya mulai berair. Beliau menangis
tanpa berkata apa-apa. Istrinya mencoba menenangkan. Ketika Pak Cipto sudah
tenang, beliau baru bercerita soal kejadian tadi pagi di sekolah.
“
Sudah pa, sudaah... biarin aja to, anak orang ini yang endak bener. Sudah, ojo
dipikirin, Pa. Sing penting Bapa dah ngajari yang baik-baik. Biar gusti Allah
yang menilai, Pa”, jawab istrinya setelah mendengar kejadian itu.
Pak
Cipto hanya diam. Hatinya masih terasa sakit. Badannya terasa sangat lelah. Beliau
memutuskan untuk beristirahat.
Dalam
mimpinya dia mendengar suara-suara gaduh. Suara gaduh itu mirip sekali dengan
suara gaduh di dalam kelas tadi pagi. Tiba-tiba sunyi. Sunyi sekali. Suara kegaduhan
itu pergi entah kemana. Sekarang terdengar suara-suara lembut.
“Cipto, kamu sudah menjadi guru yang
baik, panutan yang baik selama mengajar. Allah akan membalas semua kebaikanmu.”
, bisik suara-suara lembut itu.
Pak Cipto tersenyum lalu membuka
matanya. Beliau bangun dan mengambil segelas air. Beliau merasa sangat haus. Tiba-tiba
dadanya terasa sesak sulit bernafas. Tubuhnya terasa lemas. Jantung, penyakit jantungnya
kambuh.
“ Prangggg!!!”, suara gelas jatuh
memecahkan keheningan malam.
Suara
itu yang menutup kesabaran seorang guru fisika selama ini.
Tak
ada seorang pun murid yang tau, tak ada seorang pun murid Harapan Pelita yang
peduli.
Jika aku murid Pak Cipto, terimalah setangkai mawar biru ini dariku.
LA
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.