Minggu, 02 Maret 2014

Sebuah Cerpen: Setangkai Mawar Biru

          By: NNaomi  
Bendera kuning berkibar dengan lesu di ujung pagar sebuah rumah yang sederhana. Anak-anak remaja masih dengan seragam SMAN 1, duduk tertunduk di bangku hijau ala kondangan di depan rumah sederhana itu. Guru-guru dengan seragam rapih mereka, bergantian memasuki rumah untuk sekedar menyapa keluarga yang berduka.
***
Hari terakhir Pak Cipto mengajar di SMAN 1, beliau mengatakan pada murid-murid dan rekan kerjanya bahwa dirinya sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar sekolah, dirinya sangat bangga pada muridnya yang sudah berusaha keras menuntut ilmu. Beliau bangga dengan rekan kerjanya yang semangat memberi ilmu. Beliau berjalan menuju gerbang sekolah sambil menenteng tas coklatnya yang sudah lusuh.
Sudah satu bulan Pak Cipto tidak mengajar. Badannya malah menjadi tidak karuan rasanya. Pagi hari tangannya pegal-pegal. Siangnya mengeluh soal mulutnya yang kaku karena sedikit berbicara. Malamnya, Pak Cipto tidur dengan mengayun-ayunkan tangannya sambil bergumam soal rumus fisika. Pak Cipto benar-benar rindu mengajar di sekolah.
Pak Cipto menyeruput teh, lalu berbicara pada istrinya, “Bingung aku ini, Bu. Istirahat ngajar mbok yo bikin sehat, malah dadi pegel-pegel tanganku iki.”, beliau menyeruput lagi tehnya.
“yowis, Bapa ngajar  di SMA Harapan Pelita saja. Tapi, ora usah full” , jawab istrinya yang sudah bosan mendengarkan keinginan suaminya untu mengajar lagi. Dalam hati, istrinya khawatir dengan kondisi jantung suaminya.
Sudah diputuskan, hari ini Pak Cipto akan kembali mengajar. Jadwalya hanya dua jam pelajaran perharinya. Kata dokter, itu tidak akan memperburuk kondisi jantungnya.
Ketika masuk kelas XI IPA 8, hidungnya disapa dengan bau asap rokok yang masih menempel di baju murid-murid. Telinganya disapa dengan kegaduhan kelas yang parah. Matanya disapa dengan ruangan kelas yang berantakan dan murid-murid yang duduk di atas meja. Murid-murid menatap Pak Cipto sambil mengeluhkan kedatangannya.
Sikap anak-anak di sini sangat jauh berbeda dengan sikap anak-anak di sekolahnya dulu. Murid-murid di sini menganggap guru hanyalah boneka yang memainkan peran demi uang. Boneka yang bisa dijadikan teman. Boneka yang bisa diacuhkan karena dianggap benda mati. Bahkan boneka yang bisa dijadikan sampah karena tidak lagi bisa dimainkan. Guru hanya dijadikan mesin pemberi nilai yang memiliki hati nurani pada mereka, yang tidak akan tega memberi nilai buruk di rapot. Di sekolah ini sopan santun pada guru telah menguap entah kemana.  
Hari demi hari yang berat dilalui oleh Pak Cipto. Pak Cipto hanya bisa diam dan ekstra menahan amarahnya. Pak Cipto memang tipikal guru yang tidak pernah marah. Menurutnya, apabila dia marah pada muridnya, itu sama saja dengan membuang pahala yang selama ini telah ia kumpulkan. Pak Cipto juga sangat maklum dengan murid-murid yang tidak suka fisika, karena menurutnya setiap murid memiliki bakat dan minatnya masing-masing.
Pada suatu waktu, Pak Cipto mengajar di jam pertama setelah upacara. Beliau menerangkan soal fluida statis. Tiba-tiba seorang siswi masuk ke kelas tanpa permisi padanya dan langsung duduk di bangku tengah.
“Kamu, besok jangan terlambat lagi ya”, sahut Pak Cipto sambil mendekati siswi tersebut.  
“Gue pikir lagi engga ada guru! Habis gurunya engga keliatan sangking kurusnya! Hahaha” ,jawab siswi itu sambil berteriak. Seisi kelas langsung dipenuhi dengan gelak tawa dan sorakan-sorakan.
Pak Cipto menggenggam jari jemarinya yang keriput, lalu melemaskannya kembali. perasaannya sangat tersinggung waktu itu. Tapi, beliau memilih untuk tidak membalas dengan kemarahan agar ejekan pada dirinya tidak berlanjut. Pak Cipto berbalik menuju papan tulis, dan kembali menjelaskan soal fluida statis agar siswi yang baru saja datang  tidak tertinggal.
Tiba-tiba siswi yang tadi terlambat berteriak, “Woy, gue bawa jambu nih! Siapa yang mau? Cung!”, tangannya mengangkat sekantong jambu batu.
Siswa yang duduk di depan mengacungkan tangannya, siswi yang di belakang juga. Siswi yang tadi terlambat melemparkan jambu itu pada temannya yang di depan. Lalu melemparkan jambu itu ke temannya yang duduk di belakang. Seketika kelas menjadi medan lempar tangkap jambu batu. Gaduh, sangat gaduh.
Pak Cipto memandang murid-muridnya yang sedang main lempar tangkap ketika dirinya sedang mengajar di depan kelas. Pak Cipto mengelus dadanya. “sabar, sabar”, gumamnya pada diri sendiri.
“Sudah, sudah. Perhatikan yaa, materi ini akan keluar di ujian nasional nanti”, Teriakkan Pak Cipto masih kalah dengan kegaduhan kelas. Tidak seorang pun yang mendengarnya.
Seorang siswa yang duduk di depan Pak Cipto, menggigit jambu batu itu. Tiba-tiba siswa itu memuntahkan jambu itu dan muntahan itu hampir saja mengenai sepatu hitam Pak Cipto.
“Pyuh! Jambu apaan nih, woy! Belum mateng ini mah! Minta lagi gue!”
Pak Cipto hanya diam saja sambil berpaling dan kembali menerangkan soal fluida statis tanpa satu pun siswa yang mendengarkannya. Tanpa sepasang mata pun yang memperhatikannya. Hanya suara murid-muridnya yang beradu dengan suaranya.
Sepulang mengajar, Pak Cipto duduk dengan istrinya. Matanya mulai berair. Beliau menangis tanpa berkata apa-apa. Istrinya mencoba menenangkan. Ketika Pak Cipto sudah tenang, beliau baru bercerita soal kejadian tadi pagi di sekolah.
“ Sudah pa, sudaah... biarin aja to, anak orang ini yang endak bener. Sudah, ojo dipikirin, Pa. Sing penting Bapa dah ngajari yang baik-baik. Biar gusti Allah yang menilai, Pa”, jawab istrinya setelah mendengar kejadian itu.
Pak Cipto hanya diam. Hatinya masih terasa sakit. Badannya terasa sangat lelah. Beliau memutuskan untuk beristirahat.
Dalam mimpinya dia mendengar suara-suara gaduh. Suara gaduh itu mirip sekali dengan suara gaduh di dalam kelas tadi pagi. Tiba-tiba sunyi. Sunyi sekali. Suara kegaduhan itu pergi entah kemana. Sekarang terdengar suara-suara lembut.
            “Cipto, kamu sudah menjadi guru yang baik, panutan yang baik selama mengajar. Allah akan membalas semua kebaikanmu.” , bisik suara-suara lembut itu.
            Pak Cipto tersenyum lalu membuka matanya. Beliau bangun dan mengambil segelas air. Beliau merasa sangat haus. Tiba-tiba dadanya terasa sesak sulit bernafas. Tubuhnya terasa lemas. Jantung, penyakit jantungnya kambuh.
            “ Prangggg!!!”, suara gelas jatuh memecahkan keheningan malam.
Suara itu yang menutup kesabaran seorang guru fisika selama ini.
Tak ada seorang pun murid yang tau, tak ada seorang pun murid Harapan  Pelita  yang peduli.
Jika aku murid Pak Cipto, terimalah setangkai mawar biru ini dariku.
LA  FIN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.