TERSAMPAIKAN
Oleh NNaomi
Untuk Ez
Media sosial memang terkutuk. Sadar atau tidak media sosial
membangkitkan sisi munafik sseseorang. Setidaknya itu yang kurasakan.
Aku bercerita tentang kesempurnaan yang tidak pernah aku
miliki pada seseorang di media sosial. Aku memasang foto profil yang bukan
diriku. Menulis hal yang tidak terjadi padaku. Berbohong pada laki-laki yang
mengirim pesan ‘hai’ padaku di pagi hari tahun 2009. Kebohonganku benar-benar
membuatnya menderita. Laki-laki itu jatuh cinta pada kebohonganku.
Ez namanya. maksudku nama akun facebooknya. Jika aku
chatting dengan Ez, rasanya bagai mendongeng tentang negeri sihir pada maniak
fantasi sihir. Singkatnya, Ez, menikmati cerita tentang diriku yang tidak
nyata. Ez benar-benar pendengar yang baik. Keberadaan Ez membuatku menikmati
bercerita kebohongan.
Jika ada yang bertanya seberapa parah aku mengarang cerita
tentang diriku, biarku persingkat, karena kebohongan itu terlalu banyak. Aku
membuat Ez membayangkanku sebagai gadis yang cantik, baik, mudah
bersosialisasi, rendah hati, optimis, riang, sedikit manja, dan memiliki
kehidupan yang menyenangkan. Kenyataannya? Aku mungkin sama sekali bukan
seperti orang yang Ez bayangkan, atau orang lain bayangkan. Jika aku bisa
menganalogikan diriku, akulah elektron yang bermuatan negatif. Negatif adalah
diriku.
Bosan dengan kebohongan, aku memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan Ez. Ku hapus status pertemanan dengannya--walaupun dia
mencoba menghubungiku agar bisa berteman lagi di facebook. satu tahun tanpa
chatting, email, emoticon, semua obrolan dan kebohonganku lenyap begitu saja.
Hingga aku mengkonfirmasi pertemanan dengan akun bernama Ze.
Ze terlihat seperti penyair profesional. Profilnya hanya
berisi tentang puisi-puisi cinta karangannya yang mengharukan, menyentuh,
romantis, dan sepertinya dituju untuk seorang gadis. Dalam puisi-puisinya, Ze
tergambar seperti orang yang sedang sekarat karena penyakit, namun bahagia
karena cinta diwaktu yang bersamaan.
Awalnya aku menganggap Ze hanya mengarang hidupnya seperti
yang kulakukan dulu. Tapi aku berpikir kembali, kenapa Ze repot-repot mengarang
kesedihan untuk ditunjukan ke orang lain. Biasanya orang akan menutupi
keburukan dengan kebohongan yang baik, sepertiku.
Hingga suatu hari aku menghubungi Ze lewat chatting.
“Puisi-puisimu sangat menyentuh. Semoga kau cepat sembuh.” Tulisku di kotak
chatting. Tidak lama Ze membalas, “Syukurlah itu semua sudah tersampaikan.
Sekarang aku merasa lega dan merasa sangat senang. Apa kabarmu, Li?”
Sialan, pikirku. Aku tidak menyadarinya kalau ZE kebalikan
dari EZ! Aku merasa kesal. Puisi maupun cerita sedih hanya untuk membuatku
simpati pada Ez dan menghubunginya kembali. Agar dia bisa membuatku malu karena
berbohong, cerita sedih bohongnya secara tidak langsung menyindirku.
Satu bulan aku tidak membuka facebook karena takut
dipermalukan oleh Ez. Hingga akhirnya kubuka lagi dan melihat akun Ze telah di
hapus. Ku cari akun Ez yang dulu. Status terbarunya membuatku terdiam.
Ez menulis status 1 bulan sebelum status terbarunya
sekarang,
“Ketika aku mengenal Li, dengan segudang cerita menyenangkannya, aku merasa Tuhan maha penyayang.
Aku hanya perlu berharap dan berdoa lebih lama lagi. Walaupun ini semua akan
segera selesai.
Semoga Li baik-baik saja. Aku jatuh cinta padanya. Saat aku
menyadarinya aku merasa tenang. Dokter benar, pengobatan kanker terbaik adalah
cinta. Keanehan cintalah yang dapat membuat orang melupakan rasa sakit.
orang tuaku bilang, orang tidak mungkin jatuh cinta pada
orang lain lewat dunia maya. Mereka menyebut diriku ‘peduli’ pada Li bukan
‘jatuh cinta’ pada Li. Tidak juga. Maksudku, tidak ada satupun yang tau isi
hati dirimu selain dirimu sendiri kan?”
Status sebulan setelahnya mengatakan kalau Ez sudah tidak
ada dan keluarganya meminta doa pada orang yang mengenalnya.
Saat itu tidak ada doa yang keluar dari mulutku. Aku hanya
menutup layar leptopku dan berbaring dengan air mata.
Baru kali itu aku menangisi seseorang yang tidak
benar-benar ku kenal.
LA FIN