SAGA (Part 2): Coklat
NNaomi
Ayolah,
ayolah aku tidak bisa memimpikan sesuatu yang bisa membuatku mengabaikan gelap.
Aku diam sejenak sambil memejamkan mata. Tiba-tiba gemuruh petir terdengar.
Pertanda hujan, pikirku. Seingatku tepat di atasku ada jendela. Ku raba kaca
jendela itu. Berharap tetesan air hujan masuk ke dalam celah kaca dan membasahi
tanganku. Tapi tidak ada yang membasahi tanganku. Hanya dinginnya kaca yang
bergandengan dengan jari jemariku.
Cklek. Ada yang membuka pintu.
Kegelapan membuatku tidak tahu siapa itu.
“Saga, aku membawakanmu makanan”
suara itu suara Rachell sahabatku.
Aku diam saja.
“Aku akan menyuapimu” sahutnya
pelan.
“Jangan sekarang Rachell. Bisakah
kau nyalakan lampunya untukku? Di sini gelap sekali” jawabku.
“Sagaa...” sekarang suaranya
terdengar bergetar. Mimik mukanya tertutup gelap.
“Tenang biar aku saja yang menyalakannya”
aku mencoba berdiri. Aku berjalan sambil meraba-raba. Ketika aku mencari
saklar, terasa hembusan angin dari celah pintu. Ku buka pintu itu. Ku abaikan
saklarnya.
“Saga, kau mau kemana?” tanya
Rachell.
“Aku ingin... melihat hujan, dan menyalakan
semua lampu di rumah ini”
Rachell tidak menjawab.
Ternyata sangat sulit berjalan dalam
kegelapan. Semakin lama aku berjalan, semakin takut kurasakan. Hingga kutemukan
gagang pintu. Mungkin ini pintu keluar. Kubuka pintu itu secara perlahan.
Terasa hembusan angin kencang menerpa tubuhku. Ku langkahkan kakiku menyentuh
rumput. Ujung-ujung rerumputan menggelitik telapak kakiku yang telanjang.
Dingin. Tetesan air hujan memukuli kepala dan pipiku. Ku pejamkan mata. Rasa
sakit ini benar-benar nyata.
“Saga! Apa yang kau lakukan?
Masuklah nanti kau sakit” ucap Rachell
sambil menarik lenganku. Aku menahan tangannya.
“Rachell, apa langit sedang sangat
gelap?” tanyaku.
“...ya” jawabnya sambil menggenggam
tanganku sangat erat. Aku bisa mendengar Rachell menangis. Rachell akhir-akhir
ini tiba-tiba cengeng seperti dulu.
Dulu
ketika aku menghabiskan satu minggu tinggal bersama ayahku, karena Ibu dan Ayah
bercerai. Bercerai karena Ayah tempramental. Tapi Ayah sangat menyayangiku--sungguh.
Saat itu umurku 10. Aku sekelas dengan Rachell. Rachell korban pembullyan di kelas, itu
sebabnya dia mudah menangis dan ketakutan. Pada suatu waktu dia tau siapa
pencuri uang temanku. Tapi, dia diancam. Akhirnya aku yang melapor pada guru
dan anak yang mencuri uang di hukum. Karena tidak terima di hakimi, anak
pencuri uang itu menaruh 5 permen karet ke rambut panjangku. Apa boleh buat ku
gunting sendiri rambutku karena tak ingin Ayah tau. Ibuku mengira aku telah dianiaya
oleh Ayah. Sejak saat itu aku dilarang bertemu Ayah. Aku yakin Rachell, tapi
dia tidak pernah bercerita. Sejak saat itu Rachell mencoba lebih berani dan menjadi
akrab denganku. Aku merasa kejadian itu baru terjadi kemarin.
“Saga,
ayo masuk” ajak Rachell. Kali ini aku menurut.
Rachell
mengeringkan rambutku dengan handuk lalu berkata, “Apa kau ingin mengatakan
sesuatu padaku?”
“Aku
mengingat-ingat soal senja dan Grandma”
“Apa
kau ingin ke pemakaman Grandma? Aku bisa mengantarmu”
Aku menggelengkan kepala. Rachell menaruh
cangkir hangat di tanganku.
“Coklat akan membuatmu lebih tenang”
Coklat hangat yang manis, mengapa
hidup ini tidak semanis dan sehangat secangkir coklat hangat?
“Apa yang sedang kau pikirkan, Saga?”
ucap Rachell ketika melihatku bengong.
“Aku tidak bisa bermimpi indah
sekarang”
“Saga, aku yakin mimpi-mimpimu akan
kembali indah”
“Kenapa kau begitu yakin?”
“Saga, setelah hujan dan awan gelap
pergi pasti pelangi akan muncul. Kau tau maksudku kan? Kebahagiaan itu akan
hadir cepat atau lambat”
“Tapi, bagaimana kau dapat bahagia
ketika kau hanya melihat gelap? Bagaimana jika kau buta sepertiku, apa kau
masih yakin dengan hal itu?”
Rachell tak menjawab. Hanya suara
tangisnya yang terdengar.
“Ma..maafkan aku... Saga”
BERSAMBUNG