Minggu, 12 Januari 2014

Sebuah Cerpen: Kristal Kenangan

Kristal Kenangan
By: NNaomi
        Malam ini bulan purnama merajai langit. Menyinari setiap butir kristal salju yang menyelimuti jalanan, pohon cemara, dan  pinggiran danau es. Raja malam hanya diam melihat dua insan itu   berdansa, menari, berlari-larian di atas danau es yang tidak sepenuhnya membeku. Suara retakan samar-samar terdengar.
       Tiba-tiba danau es pecah. Fireila jatuh tenggelam. Laki-laki itu hanya diam. Matanya menangis. Tapi, bibirnya tersenyum.
***
         Sekarang dinginnya air terasa seperti merobek kulitnya, lalu menusuk tulangnya. Fireila mencoba untuk berenang ke atas berharap laki-laki itu mengulurkan tangannya. Tapi, tiba-tiba tubuhnya kaku tidak bisa digerakan. Dadanya sesak. Jari-jari dan kuku-kukunya membeku. Dingin sekali. Matanya perlahan terpejam.
    Ketika matanya terpejam dia mengingat pertemuan pertamanya dengan Shane, orang yang dia cintai. Orang yang mengajaknya berdansa di atas danau es. Orang yang mencoba membunuhnya. Sementara itu dingin menyelimuti tubuhnya, membekukan peredaran darahnya.
***
            Kala itu ada dua kerajaan yang hidup dalam ikatan yang retak, Icewest dan Icenorth. Retakan itu memercikan api peperangan sedikit demi sedikit. Percikan api itu membesar menjadi kobaran api perang yang tak terkendali. Awalnya kerajaan Icewest tidak ingin berperang. Mereka berperang karena, kerajaan Icenorth menculik Putri Raja, Westyana.
            Malam itu purnama. Namun cahaya bulan tidak menyaingi cahaya dari kobaran api yang melahap rumah-rumah di kerajaan Icenorth.
Seorang gadis cantik dengan gaun biru berlarian menelusuri gang sempit rumah-rumah di kerajaan Icenorth. Darah mengucur deras dari kepalanya. Dia dikejar oleh tiga pria. Dia harus pergi ke mana pun. Asal tidak kembali ke tempat itu. Tempat di mana dia dikurung oleh tiga pria itu atau tempat di mana kepalanya di benturkan ke tembok.
Gadis itu tidak sanggup lagi berlari, dia mulai menggedor-gedor pintu-pintu rumah orang untuk meminta pertolongan. Kepalanya pusing, dia sudah tidak sanggup berdiri apalagi berlari. Dua ketukan saja, gadis itu langsung pingsan.
Seorang laki-laki membuka pintunya mengira ada pelanggan yang punya permintaan. Ternyata yang dia lihat adalah seorang gadis berlumuran darah. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu membawanya masuk dan mengobati luka-lukanya.
Cahaya matahari melintas lurus melalu jendela, mengusik mata yang terpejam. Gadis itu terbangun. Matanya yang biru berkedip-kedip mencoba melihat ke sekeliling lebih jelas lagi.
“Kau sudah sadar?” Tanya seorang laki-laki muda sambil membawa gelas yang harumnya seperti teh.
“Ini di mana?” Gadis itu balik bertanya.
Laki-laki itu terdiam sesaat. Ada yang menggelitik perasaannya. Dia terpesona pada mata biru itu. Hatinya tertarik pada kecantikan gadis yang berada di depannya.
“Hei jawab aku, ini di mana? dan siapa kau?” gadis itu bertanya lagi.
“Te..tenang, kau di rumahku. Apa kau sudah baikan? Lukamu cukup parah”
“Luka? Apa yang telah terjadi? Aku tidak terlalu mengingatnya”
“Entahlah mungkin kepalamu terbentur sesuatu dan kau pingsan di depan rumahku. Aku sudah mengobatimu, tapi kau pingsan selama 3 hari.”
“Terima kasih. Tapi, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Kepalaku pusing.”  
“Namaku Shane, kau...?” Tanya Shane.
“...” gadis itu hanya diam.
Shane berpikir mungkin saja gadis ini lupa ingatan karena kepalanya terluka parah.
“aku... si.. siapa aku? Aah, kepalaku.”
“Jangan memaksakan diri, mungkin kau lupa beberapa hal. Kau bisa tinggal disini untuk sementara.”
“Te..terima kasih. Maaf, aku merepotkanmu”
“Tidak. Kau tidak merepotkan. Jika aku merasa direpotkan, aku akan bilang”
Gadis itu mengangguk.
Shane merasa dialah gadis yang harus ia lindungi. Siapa pun gadis itu, Shane telah jatuh cinta padanya.
“Kau menyimpan banyak senjata.” Ucap gadis itu.
“Begitulah. Sudah ingat sesuatu?”
“Tidak. Aku tidak bisa mengingat apapun. Ketika aku mencoba memikirkan masa lalu kepalaku sakit” Jawab gadis itu sedih.
“Kalau begitu, bagaimana jika aku membuatkan kenangan untukmu. Mungkin saja kenangan baru itu akan memunculkan ingatan-ingatanmu.”
“Eh? Benarkah?”
“Entahlah. Tapi tidak ada salahnya jika mencoba”
“Betul juga. Baiklah” jawab gadis itu sambil tersenyum .
Senyum itu membuat jantung Shane berdegup lebih kencang. Senyum itu membuat Shane bahagia. Senyum itu sekarang berharga baginya.
“Dimulai dari nama. Kau tidak bisa mengingat namamu. Bagaimana kalau, Fireila? Menurutku itu cocok karena kau datang ketika rumah-rumah disini terbakar oleh api”
“Hem, benarkah? Boleh juga” jawab Fireila sambil tersenyum.
“Oke. Salam kenal namaku Shane”
“Hai Shane, salam kenal, namaku Fireila. Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu?”
“Aku bekerja sebagai pengabul permohonan”
“Seperti penyihir?”
“Bukan. Tapi, pembunuh bayaran”
Fireila kaget dan terdiam. Jadi senjata-senjata disini telah dipakai untuk membunuh orang, pikirnya.
Shane mendekatinya.
“Aku tidak akan menyakitimu Fireila. Aku akan melindungimu”
“k.. kuharap begitu”
Fireila tidak menyangka ada orang yang bisa hidup tenang setelah membunuh orang. Apa orang yang dibunuh Shane marah pada Shane? Bagaimana perasaan orang itu ketika akan dibunuh oleh Shane dan menyadari kalau dia tidak diinginkan lagi berada di dunia ini dan lebih baik mati?
Tiba-tiba Fireila mengingat sesuatu. Bayangan yang samar-samar. Seseorang yang berbicara padanya.
“Le..lebih baik mati? Hhh” ucap Fireila tiba-tiba.
“Ada apa Fireila? Mukamu pucat” Tanya Shane sambil merangkul tubuh Fireila yang lemas.
“Shane, ada yang menginginkan aku mati” jawab Fireila lirih.
“Apa maksudmu?”
Fireila pingsan.
“Sh..Shane?” panggil Fireila yang terbaring di ranjang.
Shane menggenggam erat tangan Fireila. Kepalanya menunduk.
“Fireila, kau tidak perlu memikirkannya. Aku tidak akan membiarkan seorang pun melukaimu sedikit pun. Aku akan melindungimu, itu sebabnya kau tidak perlu takut!”
Fireila terkejut sekaligus senang mendengar Shane akan melindunginya. Walaupun dia tidak tau siapa Shane sebenarnya dan siapa dirinya sebenarnya, sedikitnya dia merasa tenang.
“Te..terima kasih, Shane” Jawab Fireila sambil ikut menunduk. Menempelkan kepalanya pada kepala Shane.
Sejak saat itu, mereka tinggal berdua. Shane membuat kenangan-kenangan baru, memberitahu semuanya tentang perang antar kerajaan kepada Fireila, dan menjaga Fireila.

Seiring waktu berlalu, perasaan Fireila kepada Shane berkembang menjadi cinta. Cinta seorang gadis yang tidak tau siapa dirinya dan tidak tau siapa sebenarnya orang yang dia cintai.
Setelah satu bulan tinggal dengan Fireila, Shane menyadari kalau Fireila sebenarnya adalah  Westyana, Putri kerajaan Icewest. Kerajaan yang selama ini dia perangi. Kerajaan  yang selama ini dia benci karena telah memperbudak orang tuanya. Perasaan cintanya pada Fireila tercampur dengan kebenciannya pada kerajaan Icewest.
Waktu terus berlalu, perang terus berlanjut, itu semua tidak bisa lagi menyembunyikan keberadaan Putri Icewest yang lupa ingatan, tinggal di kerajaan Icenorth. Shane diperintahkan oleh kerajaaan untuk segera membunuh Putri kerajaan Icewest, yang tak lain orang yang dia cintai.
Shane memutuskan untuk tidak membunuh Fireila, karena dia menganggap gadis yang tinggal di rumahnya bukanlah seorang Putri kerajaan musuh, melainkan gadis biasa yang dia cintai. Shane lebih memilih untuk pergi meninggalkan Icewest dan hidup di negeri lain yang jauh bersama Fireila. Shane akan membawa Fireila pergi.
“Fireila, aku ingin membawamu ke suatu tempat yang sangat damai. Aku ingin tinggal di sana bersamamu. Aku ingin kita pergi dari sini agar kau aman. Ikutlah denganku” Ajak Shane.
“Jika kau berpikir di sini berbahaya dan lebih baik kalau kita pergi, aku percaya padamu. Aku akan ikut denganmu” Jawab Fireila sambil tersenyum tulus.
“Syukurlah...Sekarang aku akan membeli beberapa perbekalan. Kunci pintunya dan jangan bukakan pintu pada siapa pun, oke?”
“Iya, tenang saja aku akan baik-baik saja” jawab Fireila.
Setelah Shane pergi, tiba-tiba ada yang mengetok pintu.
“Westyana! Aku tau kau di dalam. Aku akan menyelamatkanmu!” teriak seorang laki-laki dari luar mencoba membuka paksa pintu yang terkunci.
“Si..siapa di sana?!”
“Ini aku Stefan! Apa kau baik-baik saja?! Aku akan mencoba untuk masuk.Pintunya terkunci!”
“Jangan masuk!” teriak Fireila.
“Jangan khawatir! Aku akan menolongmu!”
Stefan mencari jalan lain untuk masuk ke rumah. Akhirnya dia bisa masuk ke dalam rumah lewat jendela.
“Diam di situ!” teriak Fireila sambil menodongkan pisau kepada Stefan.
“Westyana! Syukurlah kau baik-baik saja. Aku mencarimu. Apa yang kau lakukan?” jawab Stefan.
“We..westyana? aku bukan Westyana! Aku tidak mengenalmu”
“Oh tidak! Jangan bilang kalau mereka membuatmu lupa ingatan”
“A..apa maksudmu?!”
“Tenang dulu Putri. Aku bisa menjelaskan semuanya aku bisa membuatmu mengingat semuanya. Tolong dengarkan aku dan taruh pisau itu”
Fireila berpikir tidak ada salahnya mendengarkan laki-laki itu jika bisa membantunya mengingat sesuatu. Fireila menaruh pisaunya.
“Aku akan menjelaskannya dari awal. Kau adalah Westyana, Putri kerajaan Icewest. Kau bisa membuktikannya sendiri. Di lengan kirimu ada tanda lahir berbentuk diamond sama persis seperti milik Raja. Tentu saja kau adalah anaknya. Dan aku adalah Stefan tunanganmu.”
Fireila mengecek lengannya dan benar ada tanda lahir berbentuk diamond di sana. Kepala Fireila tiba-tiba sakit. Dalam pikirannya ada bayang-bayang yang memaksa untuk diingat. Apa yang diceritakan Stefan tidak terdengar asing. Dia merasa itu memang dirinya.
“Apa kau mengingat sesuatu? Jika belum aku siap membantumu mengingat semuanya” Tanya Stefan.
“Tidak. Hentikan. Kepalaku pusing. Aku tidak yakin tapi mungkin aku adalah Westyana” jawab Fireila lirih.
“Kalau begitu ayo kita pergi dari sini. Di sini tidak aman”
“Aku tidak bisa pergi begitu saja” jawab Fireila.
“Apa yang kau bicarakan, Tya? Tidak. Jangan bilang kalau kau jatuh cinta pada pembunuh bayaran itu.”
“....” Fireila tidak bisa membantah. Dia hanya tidak bisa mengingat lebih jauh lagi. Perasaannya hanya ingat cintanya pada Shane.
“Kau benar-benar jatuh cinta padanya..” ucap Stefan dengan nada menyesal.
“Aku hanya tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi. Aku hanya bisa mengingat perasaanku padanya. Aku hanya bingung” jawab Fireila.
“Kau membuat kesedihanku sempurna. Kau melupakan tentang kita dan kerajaanmu akan terbengkalai karena Raja sedang sakit dan kau—Putrinya, tidak ada untuk menggantikannya” ucap Stefan.
“A..ayah...”
“Raja sangat menghawatirkanmu dan jatuh sakit. Dia membutuhkanmu. Ikutlah denganku. Kita kembali ke tempat di mana seharusnya kau berada” jawab Stefan.
“Stefan pergilah. Aku akan kembali ke kerajaan. Tapi, tolong tunggu aku. Aku harus berbicara dengan Shane” ucap Fireila.
“Baiklah, aku akan pergi. Jangan khawatir aku akan menunggu dan menjagamu dari jauh” jawab Stefan.
“Te..terima kasih”
“Sampai jumpa, Putri” Stefan mencium bibir Fireila, lalu pergi melalui jendela.
Tanpa diketahui siapapun, Shane berdiri di depan pintu melihat apa yang telah Fireila lakukan.
“Bagus Fireila, teruslah membuat aku sakit, agar aku membencimu dan mudah untuk membunuhmu nantinya” Bisik Shane.
Shane mengetok pintu.
“Selamat datang Shane. Ada yang ingin aku bicarakan” sambut Fireila.
“Tolong jangan sekarang. Ada yang ingin aku tunjukan padamu. Tapi, nanti malam. Aku akan membuatkanmu kenangan yang terakhir di sini”jawab Shane.
“Ba..baiklah”
***
Sekarang Fireila tidak lagi bisa memikirkan apapun. Dia sudah merelakan semua. Dinginnya air sungai telah memeluknya sepenuhnya, menguasai tubuhnya, mencoba untuk membunuhnya.
Tiba-tiba panah melecut, menusuk lengan Shane. Shane mengaduh, mencari dari mana asal panah itu.
“Berani-beraninya kau melukai Putri yang mencintaimu!” teriak Stefan.
“Dia bukan seorang Putri di hatiku. Dia orang biasa” jawab Shane lirih.
Stefan mengabaikannya. Stefan mengikatkan tali ke pinggangnya.
“Prajurit! Tarik tali ini jika aku sudah menariknya.”
Stefan menyelam ke dalam danau yang amat dingin. Tubuhnya kaget ketika air membasahi kulitnya. Stefan tidak peduli. Dia terus menyelam untuk menggapai Fireila yang tenggelam semakin dalam.
Akhirnya Stefan berhasil menyelamatkan Fireila. Namun, tubuh Fireila mengalami hipotermia parah. Nafas dan detak jantungnya sangat lambat. Begitu juga dengan dirinya.
“Prajurit! Lepas jubah salju kalian! Selimuti Putri dan kita pergi dari sini”
Mereka pergi meninggalkan Shane yang tidak bergerak, menangis dalam diam.
***
Kerajaan Icewest memenangkan perang dan mengajukan sebuah perjanjian dengan kerajaan Icenorth. Penduduk Icenorth bisa bekerja di kerajaan Icewest sebagai pengunjung, bukan sebagai budak. Sebagai syarat, penduduk Icewest tidak diperbolehkan menikah dan memiliki anak dengan penduduk Icenorth karena perbedaan kasta diantara mereka.
Putri Westyana telah sepenuhnya sembuh dari amnesia. Pangeran Stefan telah menikahinya 5 tahun lalu. Mereka memiliki seorang putri kecil dan seorang pangeran kecil. Kehidupan mereka begitu terasa damai
Tanpa diketahui siapapun, disebuah malam, Westyana bertemu dengan Shane di balkon istana.
“Fireila, aku tahu kau masih mencintaiku” ucap Shane sambil membelai rambut Westyana.
“Aku sudah menikah dengan Stefan” jawab Westyana.
“Aku sudah berusaha melupakanmu. Tapi pada akhirnya hati ini tidak bisa berbohong”
“Aku sudah tidak lagi mencintaimu” sahut Westyana sambil berbalik membelakangi Shane.
            Westyana mencoba untuk menahan perasaannya kepada Shane. Bukan perasaan benci. Melainkan cinta yang dia kubur dalam-dalam yang sekarang memaksa untuk tumbuh kembali.
             Kristal-kristal es turun perlahan dari langit. Menaburkan kenangan-kenangan masalalu tentang mereka. Menyentuh lembut pikiran.  Membangunkan ingatan indah yang telah lama terlelap di balutan selimut neuron.
            “Hei, kau tidak bisa membohongiku” ucap Shane lirih sambil memeluknya dari belakang.
            Westyana hanya diam saja.
            “Sekarang, dengarkan aku. Sekali lagi menjadi Fireila dan lupakan perjanjian antar kerajaan. Kau bukan lah seorang Putri di mataku. Kau orang biasa yang membuatku jatuh cinta”
            Perasaan itu semakin memaksa untuk keluar.
            “Bercintalah denganku, Fireila” bisik Shane.
            Westyana berbalik, memandang mata Shane. Ingin mengatakan sesuatu.
LA FIN



Kamis, 02 Januari 2014

Sebuah Cerpen: 3 Orang Anak yang Sangat Riang

Warning! 
Cerita ini sepenuhnya fiksi dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan beragama. Penulis tidak bertanggung jawab atas efek samping dan keluhan setelah membaca cerita ini. Segera hentikan aktifitas membaca apabila terjadi gejala pusing-pusing dan kebingungan. 
Selamat menikmati!

3 Orang Anak yang Sangat Riang
By: Faridah Sani, NNaomi, dan R.S Nabilla M.M
            Pada suatu hari. Ada 3 orang anak yang sangat riang gembira. Mereka sedang berjalan-jalan.  Tiba-tiba sebuah truk menabrak mereka. Mereka mati dan masuk surga.
            Di surga mereka melakukan rapat untuk hidup kembali. Mereka berpikir untuk tidak meninggalkan jasad mereka. Jadi, mereka masuk ke dalam jasadnya dan bangun lagi.
Setelah mereka hidup kembali, datang shinigami yang bermaksud menangkap mereka karena kabur. Tapi mereka tidak bisa kabur karena mereka jatuh cinta pada shinigami ganteng. Shinigami itu bernama Sebastian. Rasa cinta mereka makin berkembang seperti sakura di musim semi di pinggir jalan. Karena ketiganya suka pada orang yang sama, maka terjadilah pertengkaran yang diakhiri dengan tewasnya Sebastian. Mereka hanya bisa menangis dan memutuskan untuk move on.
            Mereka memutuskan untuk bunuh diri dan masuk surga kembali untuk bertemu dengan shinigami Sebastian. Mereka menyesal atas perbuatan pembunuhan shinigami Sebastian. Setelah bertemu dengan Sebastian, mereka mengajak Sebastian untuk piknik ke Indonesia. Sayangnya mereka berempat malah ditangkap oleh tim dari masih dunia lain. Mereka dimasukan ke dalam botol. Mereka mencoba untuk membuka tutup botol itu. Tapi, sulit. Ketika mereka melihat tutup botol itu ternyata tutup botol itu adalah hadiah minuman! Mereka memutuskan untuk berusaha membukanya untuk mendapatkan 500 rupiah hadiah tutup botol. Dengan kekuatan-kekuatan ketiganya yaitu kame hame ha. Akhirnya mereka bisa keluar dan menukaran tutup botol itu pada warung terdekat dan ternyata mereka mendapat bonus tiket liburan ke New York.
Akhirnya mereka berlibur ke New York. Di New York mereka hanya diam karena tidak mengerti bahasa inggris. tiga bersahabat itu putu asa atas apa yang mereka lakukan. Mereka memutuskan bunuh diri di sungai.
Tetapi Sebastian lalu berkata,”Wahai, 3 orang-orang putus asa, sesungguhnya putus asa itu dosa besar dan akan dimasukkan ke neraka, Astagfirullah...”
Mereka menjawab, “Ya Allah, kami khilaf”
Ketiganya pun berterima kasih pada Sebastian karena mengembalikan mereka ke jalan yang lurus.
Tiba-tiba sungai itu begejolak. Langit berubah menjadi pekat. Dari sungai itu munculah avatar yang mengendalikan air.
Mereka bingung dan bertanya, “Lagi ngapain avatar di New York?”
Lalu avatar menjawab, “Gue lagi jalan-jalan, shopping bray... jaman sekarang tuh udah  ga jaman deh ngelawan negara api! Bosen tau gak? Negara api mah CEPU!” lalu avatar menyambung lagi, “sekarang mah gampang, telepon aja pemadam kebakaran, biar mereka ga bisa ngeluarin api lagi”
Sebastian langsung ngomong dan ketawa, “Hahaha!! Gue dong ga ada yang bisa ngalahin gue!”
“Halah kata siapa lo? Pas waktu itukan lo mati dan kita ketemu di surge” jawab 3 bersahat itu.
Sebastian membantah, “Tapi kan, gue itu gantenx cyiin, harusnya gue ikut mojang jajaka noh Hahaha.. gue menang nanti!”
Lalu mereka melakukan sesuatu kepada Sebastian yaitu, melemparkan sepatu ke arah Sebastian, dan berkata “mampus loh. Biar tu muka yang kata lu ganteng tadi ancur”
Sebastian buru-buru ngaca di sungai, lalu berkata, “Masyallah. Gila muka gue, muka gue yang gantengnya ngalahin Sasuke dama Brad pit in ancur mak!”, Sebastian nangis kejer. Sebastian kembali merengek, “Mana cinta lo! Katanye lo pade cinte sama ane!”
Mereka menjawab, “PD banget lo banci murahan, hahaha!”
Sebastian sakit hati lalu pergi ke Ramayana deket Mega M. dia galau sambil nangis-nangis di photo box.
Setelah Sebastian berfoto-foto alay na. dia memutuskan untuk pindah ke Ramayana dan ngepump di Zone 2000. Setelah ngepump dia sudah tidak galau lagi.
Sebastian terpikir untuk balas dendam dan menelepon Ultramen untuk membantunya balas dendam. Dengan segenap kekuatannya di menelepon ultramen. Ternyata... ultramen sibuk karena banyak jadwal syuting sinetron striping yang baru. Sebastian putus asa dang menghubungi Power Ranger untuk meminta bala bantuan. Ternyata Power Ranger bisa membantu. Kemudian Sebastian pergi ke New York untuk balas dendam di New York.
Di New York hujan menderu-deru. Angin kencang menemani Sebastian dan Power Ranger. Pertarungan akan dimulai. Ternyata tiga bersahabat telah menunggu Sebastian, dan mereka sebelumnya juga sudah meminta bantuan kepada telletubies untuk membantu mengalahkan Sebastian.
Mereka semua bertarung berdasarkan warna masing-masing. Satu persatu mereka terkalahkan. Mereka saling melempar panic penggorengan yang telah bolong dan gosong. Yang sudah mereka minta dari tukang gorengan kemarin. Bonusnya adalah cireng, bala-bala, gehu!
Pertarungan semakin sengit ketika ke tiga bersahabat itu dengan mudahnya menghindari lemparan panic gorengan dan dengan sangat cekatan menangkap satu persatu cireng, bala-bala yang tak sengaja terlempar.
“Woi, bisa sekalian cengeknya ga?!”, teriak tiga bersahabat setelah mengumpulkan hasil gorengan yang mereka tangkap di piring.
Sebastian lalu menyiapkan cengek 1 kuintal dan melemparkan kepada tiga bersahabat agar mereka kepedesan. Tapi tidak sama sekali.
Tiga sahabat itu berbicara lagi, “Cuma bisa ngeluarin jurus cengek? Jurus minumannya mana? copo lo!”.
Sebastian marah dan melemparkan minuman ke tiga sahabat. Tiga bersahabat akhirnya papahare di NY.
Telletubies dan Power Ranger terkalahkan karena ternyata cengek-cengek itu tajam. Cengek-cengek itu tajam karena tukang gorengannya ternyata seorang anggota FBI.
Ternyata tukang gorengan FBI itu telah melapor kepada CIA. 5 menit kemudian CIA datang dan menangkap Power Ranger beserta Telletubies. Sementara tiga bersahabar yang sedang papahare menonton dan bertepuk tangan atas kepergian mereka. Berbeda dengan tiga bersahabat, Sebastian menangis tersedu-sedu karena gagal balas dendam. Sebastian sudah tidak tau harus berbuat apa. Dia mereasa ingin kembali saja ke surge. Tapi, Sebastian berpikir dua kali.
New York menjadi penuh dengan minyak gorengan. Akankah mereka membersihkannya? Pasti. Sebagai hukuman atas perbuatan Power Ranger dan Telletubies diperintahkan untu membersihkan NY dari minyak-minyak yang berceceran.
Setelah minyak itu selesai dibersihkan, Power Ranger, Telletubies, tiga bersahabat, dan Sebastian berkumpul. Mereka membuat perjanjian perdamaian. Dengan alasan perang itu tidak baik dan tidak menguntungkan sama sekali.

LA FIN

Cerita ini dibuat pada waktu yang sama secara bergantian. Penulis hanya melanjutkan kalimat sebelumnya yang ditulis oleh penulis lainnya. Bisa disebut permainan meneruskan cerita :D

Sebuah Cerpen: Mati Dilumat

Mati Dilumat
By: NNaomi
Sore ini, langit murung sambil menggerutu. Awan-awan penuh dengan pikiran jahat. Membuatnya berwarna hitam pekat. Burung-burung terbang berputar-putar menghibur langit. Tapi sayang, itu tidak ada gunanya. Langit tidak lagi bisa menahan amarahnya yang meluap. Emosi langit jatuh ke bumi dengan wujud rintik hujan.
            Di bawah pohon jambu, terdengar suara seorang gadis. Lembut dengan nada yang bahagia.
“Sekarang, aku bakal kasih tau kamu hal yang belum kamu tau,”
            “Soal apa?” seorang laki-laki dengan mata coklat menjawab suara seorang gadis.
            “Hal yang bikin aku bahagia. Alias hal yang bisa membuatku ingat padamu,”
            “Apa?”
            “Waktu aku memanjat pohon jambu air, dan kau ikut memanjatnya, tapi tidak bisa,”
            “Kau mengejekku, ya! Waktu itu kakiku sedang sakit. Jadi aku terpeleset,”
            “Waktu kau mengajakku pergi ke pasar malam di ujung gang itu. Kau membelikan aku gulali dengan uang yang kau temukan di jalan,”
            “Gulalinya manis, kan? Uang nemu ga bikin rasanya berubah, kok,”
            “Waktu kau mengajakku melihat bulan di pinggir sungai, dan mengatakan kalau pantulan bulan di air sungai adalah kembaran bulan di bumi,”
            “Aku terlihat pintar, karena kau percaya dan terkagum-kagum melihat pantulan bulan di sungai. Hahaha. Konyol,”
            “Saat kau menyanyikan lagu ulang tahun untukku, walaupun suaramu sumbang,”
            “Aku rasa suaraku lebih bagus dibandingkan dengan kambing liar,”
“Sa...saat kau mencium keningku, pada malam tahun baru, dan mengucapkan selamat tahun baru,”
            Laki-laki itu diam. Ia tidak bisa membantah perasaannya.
“Saat kau membelikan aku pensil kayu, karena, aku mulai kesulitan menulis dengan pensil biasa,”
Laki-laki itu diam mengalihkan pandangan. Mata coklatnya melihat  sarang semut  yang ditembaki oleh air hujan.
“Saat kau menggenggam erat tanganku, ketika kita berjalan bersama, karena badanku mulai tidak seimbang,”
“Aku tak mau  kau jatuh tiba-tiba,”
“Saat kau membantuku menaiki tangga sekolah, ketika kakiku mulai sulit digerakan,”
Laki-laki itu diam. Pikirannya terbang, kembali ke masa lalu.
“Saat kau sabar berjalan bersamaku, karena, aku berjalan seperti pinguin. Lambat,”
Laki-laki itu mendongak, menatap bunga jambu air yang basah. Matanya terasa terbakar.
“Saat kau mengangkat kursi rodaku menaiki tangga. Aku tau itu berat, tapi kau tetap tersenyum padaku,”
Dinginnya angin menusuk kulit laki-laki itu. Badannya menggigil.
“Saat kau berkunjung ke sekolah luar biasa tempatku dipindahkan, untuk makan jambu air bareng,”
Setetes, dua tetes, tiga tetes. Begitulah cara air hujan menemani kesedihan seseorang.
             “Saat kau menemaniku seharian di rumah sakit, karena aku tidak lagi bisa berjalan dan membutuhkan perawatan khusus,”
            Setetes air mata meluncur bersamaan dengan ribuan tetesan air hujan.
            “Saat kau membawakan aku puding, bukan jambu, karena minggu itu rahangku kaku, sulit digerakan,”
            Air hujan menampari wajah laki-laki itu. Bercampur dengan tetesan air matanya.
            “Masih banyak hal yang membuatku bahagia. Tapi ada satu hal yang paling membuatku bahagia. Ketika aku dengan putus asa mengatakan padamu, bahwa aku nantinya tidak akan bisa menulis, berjalan, bergerak,  berbicara, bahkan makan, dan akhirnya aku hanya akan bisa berbaring di kasur rumah sakit, karena aku dinyatakan mengidap penyakit spinocerebellar degeneration. Tiba-tiba kau memelukku dan mengatakan kau tidak akan pergi dan berjanji akan membuatku selalu bahagia, agar aku melupakan penyakitku. Kau memang membuatku bahagia. Tapi maaf, aku ga bisa ngelupain penyakit ini. Kalau aku ngelupain penyakit ini, aku ga akan bisa berterima kasih.”
            Hening.
            “Saat mulut ini sudah tidak lagi bisa berbicara. Ketika tubuhku sudah tidak bisa digerakan. Ketika mata ini terpejam saat kau datang. Aku mau kamu tau, aku cinta sama kamu, dan aku bahagia. Sayonara.”
            Sudah tidak lagi terdengar rekaman suara gadis dari telepon genggam laki-laki itu. Tangisnya teredam oleh gemuruh hujan yang membabi buta. Hatinya teriris saat sadar kalau cintanya telah mati. Mati dilumat oleh waktu dan keadaan.

LA FIN

Cerpen ini terinspirasi dari drama Jepang, Ichi Rittoru no Namida (One Litre of Tears). Dramanya sukses bikin penontonnya bersyukur dan menangis tersedak-sedak

Sebuah Cerpen: Hitam Monokrom

Hitam Monokrom
By : NNaomi
Awan putih terpaksa minggat karena awan hitam mulai menguasai langit sore. Tanpa ada perseteruan antara mereka berdua. Matahari pun enggan melarang awan hitam mengusir paksa awan putih. Ia hanya melihat dari sudut laju cahayanya yang perlahan-lahan mulai redup. Rerumputan saling bergandengan tangan. Mereka berdansa sambil menyanyikan lagu kegembiraan. Lagu syukur karena hujan akan turun. Sraak..sraak.. . Angin memandu kemana arah melodi yang mereka ciptakan.
Detik-detik sebelum hujan adalah momen yang selalu aku nikmati di sore hari. Orang-orang di desa menganggap hujan sore hari adalah malapetaka. Karena cahaya langit lenyap perlahan bukan pada waktunya. Tapi, inilah kenyataan. Hujan selalu datang di kala senja, bergandengan dengan kegelapan. Bersama-sama menyelimuti hati seseorang dengan kesedihan dan ketakutan. Tak ada yang datang ke desa ini untuk menikmati keindahan senja. Jangankan orang dari luar desa, penduduk desa sekalipun sama sekali tidak mengenal senja. Tuhan tidak pernah memperkenalkan mereka dengan keindahan senja. Hidup mereka adalah monokrom.
Rambut mereka berwarna putih. Orok hingga yang bau tanah, rambutnya  berwarna putih. Jarang sekali diantara mereka yang memiliki rambut bewarna hitam seluruhnya. Jika ada, mereka akan langsung membunuhnya. Mereka menganggap rambut hitam adalah pembawa malapetaka.  Mata mereka berwarna Orchid. Sebuah warna keunguan yang syarat akan keraguan, keegoisan, dan kesedihan. Bibir mereka bewarna merah kehitaman karena, sayur-sayuran dan buah-buahan yang mereka tanam dan mereka makan tidak bergizi.
Aku berbeda dengan mereka. Rambutku hitam legam tanpa celah. Mataku hitam pekat, sepekat mata burung gagak. Bibirku merah muda. Perbedaan itu yang membuat mereka murka padaku dan orang tuaku. Tak ada yang tahu aku telah dilahirkan. Orang tuaku melahirkanku di sebuah rumah di tengah hutan dan selalu memangkas habis rambut hitamku.
Aku muak kepada semua penduduk desa. Mereka menangkap Ayah dan Ibuku di pasar, ketika aku masih berumur 7 tahun.
“Jika ada orang yang mendorongmu dan mengejarmu, berlarilah ke hutan. Ayah dan Ibu akan baik-baik saja.” kata Ayahku sebelum tertangkap.
Benar saja, tak lama kemudian,  ada yang mendorongku. Aku terjatuh. Seperti yang dikatakan Ayahku, aku bangun dan berlari sekuat tenaga menuju hutan, kembali ke rumah. Aku tak sempat melihat Ayah dan Ibu saat itu. Ada sekitar 5 orang yang mengejarku ke hutan. Aku sangat ketakutan. Sambil berlari aku berharap orang-orang itu tidak dapat mengejarku. Tiba-tiba gejolak aneh menerjang dadaku. Aku mendongak ke atas. Ranting-ranting pohon bergerak meliuk-liuk. Aneh. Kupercepat lariku dan sampai di rumah dengan selamat dan was-was. Tapi mereka tidak datang. Aku tidak tahu mengapa dan apa yang dilakukan hutan pada mereka. Aku juga tidak tahu apa yang mereka lakukan pada orang tuaku. Yang aku tahu, Ayah dan Ibu tidak pernah kembali.
Sekarang umurku 17 tahun. Aku ingin menggunduli rambut ini seperti biasanya. Tiba-tiba semak-semak di depanku bergoyang-goyang. Bukan karena diterpa angin dan hujan. Serigala, pikirku. Ku tarik panahku, bersiap melepaskannya. Namun yang muncul malah seorang laki-laki seumuranku sambil mengangkat tangan. Dia orang desa. Rambutnya, matanya, bibirnya. Dia pasti ingin membunuhku. Tanganku tegang. Melihatnya seperti menenggelamkan diri ke dalam ingatan yang menakutkan.
“Berhenti di sana, atau aku akan memanahmu!” teriakku.
“Who,who,who. Tenang aku ke sini bukan untuk menangkapmu” dia berjalan mendekatiku. Tangannya masih terangkat. Badannya basah kuyup.
“Diam disitu, atau panah ini akan membunuhmu!”
“Ok,ok, kau menang. Izinkan aku menjelaskan” suaranya terbawa angin.
 “Jatuhkan barang-barangmu”
Laki-laki itu menjatuhkan pisau dan tasnya. Aku mulai berpikir dia tidak ingin membunuhku. Tapi aku tetap was-was. Mungkin saja dia adalah umpan.
“Apa tujuanmu datang kesini?! Darimana kau tahu tempat ini?!” teriakku.
“Aku ingin bertemu denganmu. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku mengikutimu ketika kau dikejar oleh 5 orang desa, dulu sekali. Waktu itu, aku sedang mencari tumbuhan obat di hutan. Aku menemukan rumahmu tapi mereka tidak. Aku selalu mengintip dari balik semak-semak untuk melihatmu. Aku benar-benar... penasaran, hanya itu.”
“Apa kau ingin membunuhku?”
“Awalnya...”
Kutarik lagi panahku.
“Tenang-tenang, aku belum selesai berbicara. Awalnya aku percaya kalau orang sepertimu adalah bencana. Tapi, ketika memperhatikanmu, aku merasa kau tidak berbuat hal yang buruk. Bahkan ketika aku tahu kau di sini, aku merasa tumbuhan obat tumbuh subur. Mungkin kau punya kekuatan yang baik. Aku jadi penasaran. Kalau kau ingin tahu, aku penjual tanaman herbal di desa.”
Laki-laki ini tidak berbahaya. Kutaruh busur dan panahku.
“Kemarilah! Siapa namamu?”, aku ajak dia duduk di sampingku.
“Eric, Eric Seabold. Kau?”
“Aureila”
“Jadi, kau akan memotong rambutmu atau membunuhku dengan gunting itu?”
“Haha. Tidak, gunting ini untuk menggunduli rambutku.”
Tiba-tiba, tangannya yang dingin membelai kepalaku dan mengambil segenggaman rambut hitamku. Aku kaget. Eric malah mencium rambutku.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Aku tidak ingin kau memotong rambut hitammu.” Nada bicaranya berubah rendah. Tatapan matanya tiba-tiba layu.
“Me..memangnya kenapa?” aku bingung.
Eric mendekatkan mukanya ke telingaku. Hembusan nafasnya bisa kurasakan. Dia menghirup rambutku. Perlahan dia berbisik, “Aku jatuh cinta pada rambutmu”.
Aku kaget mendengarnya. Dia seperti orang tuaku yang tidak membenci rambut hitam ini.
Sejak saat itu, Eric tinggal denganku. Sebagai teman. Katanya, teman selalu ada untuk diri kita. Aku mengiyakan saja.
Pagi ini aku memetik apel bersamanya.
“Lihat apel ini. Begitu memikat. Oh iya! Aku punya puisi untukmu.” sahut Eric dari atas pohon apel.
Tiba-tiba Eric turun dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Terlalu dekat. Mukaku panas menahan malu. Dia mundur selangkah dan mulai berpuisi.
 “Putri Salju terlalu bodoh. Dia terpikat dengan merahnya apel beracun. Aku tahu. Dia terpesona. Merah itu memancarkan ilusi kenikmatan. Manis, dan lembut. Tapi kau berbeda. kau bukanlah ilusi semata. Kau pesona yang nyata. Membuatku jatuh cinta. Aku jatuh cinta padamu. Apa kau juga?”
Aku merasakan ada kebahagiaan yang tiba-tiba memenuhi hati ini. Kebahagiaan itu membuat jantung berdetak lebih cepat. Kebahagiaan itu membuat semuanya berubah jadi indah. Kebahagiaan itu meluap-luap. Lalu aku mengangguk sambil memeluknya.
Sejak aku tahu Eric mencintaiku, aku merasa matahari bersinar lebih terang. Seluruh tumbuhan dan hewan di hutan bernyanyi riang. Bunga bermekaran dimana-mana. Bulan terasa lebih dekat. Hujan terlihat lebih indah. Tubuhku diselimuti kebahagiaan. Jika kau tidak sedang jatuh cinta, kau akan menganggap itu berlebihan.
Suatu hari, Eric meminta izin padaku untuk kembali berjualan obat herbal di desa. Dia berjanji akan segera kembali. Aku menunggunya. Sudah berhari-hari, dia tak kunjung datang. Aku mengkhawatirkannya. Aku memutuskan untuk menyamar dan pergi ke desa untuk mencarinya. Aku tahu itu bahaya, tapi rasa cintaku membuatku menelan ketakutanku sendiri, bulat-bulat.
Ketika aku berjalan menelusuri hutan menuju desa, rerumputan mengisyaratkan agar aku tidak pergi. Bunga-bunga mengisyaratkan agar aku pulang dan lebih bersabar. Burung-burung mengisyaratkan agar aku kembali ke rumah dan beristirahat saja. Pohon-pohon mengisyaratkan sesuatu. Tapi aku tidak mendengarnya. Aku tidak mau mendengarkannya. Aku tak akan kembali ke rumah. Aku tak mau kehilangan orang yang kucintai untuk yang kedua kalinya.
Ketika aku berada di ujung hutan, kakiku terjerat sesuatu. Ketika aku berusaha melepaskannya, aku tertarik ke atas pohon. Aku ketakutan. Aku tertangkap. Aku tergantung di atas pohon dengan posisi kakiku di atas. Darahku turun ke bawah. Aku meronta. Tidak ada gunanya. Aku mencoba menggapai tali yang mengikatku, tapi tidak bisa. Aku sudah membayangkan hal terburuk yang akan terjadi pada diriku. Mungkin aku akan dibakar, disiksa, atau dipenggal. Ketakutan menyelemutiku. Aku menangis. Aku menyalahkan diriku sendiri karena ceroboh. Ketika aku terisak, aku mendengar suara yang sangat tidak asing. Suara Eric!
“Lihat apa yang telah kita dapatkan” sahutnya.
“E..Eric? tolong aku!”
Eric mendekatiku. Dia menciumi rambutku yang tergerai karena topiku jatuh.
“Eric apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan aku!” aku menangis sangking takutnya, melihat 10 orang penduduk desa berdiri di belakang Eric yang bersiap menyerangku.
“Kau seperti Putri Salju yang bodoh, Aureila. Kau telah memakan apel beracun yang kuberikan padamu.”
“Apa maksudmu?! Bukankah kau mencintaiku? Bukankah kita saling mencintai?! Eric tolong jangan bercanda. Aku benar-benar takut” air  mataku menetes lebih cepat
“HAHAHA! Cinta? Kau bodoh! Asal kau tahu, aku yang menggantung Ayah dan Ibumu! Aku yang membunuh mereka! Jadi,  mana mungkin aku mencintaimu.”
Air mataku berhenti seketika. Hatiku tersayat. Sakit. Sakit sekali. Perih. Perih sekali. Tak percaya apa yang telah kudengar. Aku lemas. Kepalaku pusing. Telingaku berdengung.
“Saat itu aku hanya melihat sesosok gadis cantik seumuran denganku berlari ketakutan. Aku mengikutimu dan melihat kau masuk rumah. aku bisa mengetahui keberadaanmu karena saat itu aku tidak ingin membunuhmu. Hutan ini menyembunyikanmu dari orang-orang yang ingin membunuhmu, kecuali aku.”
Eric membelai pipiku.
“Ketika aku kembali ke desa. Aku melihat orang tua mu diikat. Aku mengingat mata Ayahmu. Mata perampok yang merampok rumahku dan membunuh orang tuaku di depan mataku sendiri ketika aku masih kecil! Aku menceritakan kejadian itu pada warga desa. Mereka marah dan menggantung orang tuamu. Bukan kah itu setimpal?”
Eric mencium keningku. Aku tak berdaya. Kesedihan menguasaiku sepenuhnya. Aku pasrah.
“Ketika dewasa, aku mendengar kabar burung keberadaanmu. Semua orang mencarimu. Gadis berambut hitam, bermata hitam sehitam mata burung gagak. Tak lain dan tak bukan anak perampok itu. Awalnya aku tak ingin membunuhmu. Aku hanya penasaran akan kebenaran kabar itu. Ternyata semua itu benar. Ketika aku mengintip dari semak-semak, kau menyergapku.”
Eric mengeluarkan pisau dari sakunya. Aku akan dibunuhnya. Aku akan dibunuh oleh orang yang paling aku cintai di dunia ini.
“Aku hidup bersamamu. Semakin aku mengenalmu, semakin aku membencimu. Aku mulai menyusun rencana. Kusodorkan apel beracun padamu. Kau memakannya.”
Eric mendekatkan bibirnya ke bibirku. Pisaunya mencium leherku. Urat nadiku akan segera dipotong olehnya. Jatungku berdegup amat kencang. Mataku terbelalak. Desiran aneh menerpaku.
Tiba-tiba kesedihanku berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Kemarahan itu amat kuat menghancurkan kenangan indahku bersama Eric. Kebencian dengan mudahnya menghancurkan rasa cinta dalam hatiku. Sekarang kemarahan dan kebencian menguasaiku. Aku muak dengan semuanya. Aku murka. 
Tanganku bergetar. Akar-akar pohon mencuat dari dalam tanah. Memanjang dan bergerak menuju warga desa. Melilit leher mereka. Kebencianku mencekik mereka. Kemarahanku menggantung mereka. Mereka tewas. Eric terkejut. Ia menjadi ketakutan setengah mati melihatku. Ia menjauh dariku. Kakinya bergetar. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Kupatahkan dahan tempatku menggantung. Aku jatuh terjerembab. Eric cepat-cepat menjauh.
“Eric cium aku. Kumohon. aku tidak akan membunuhmu. Aku akan memaafkanmu. Eric... aku mencintaimu. Sungguh mencintaimu. Jangan tinggalkan aku.”
Eric semakin ketakutan. Tapi dia mendekat ke arahku. Wajahnya pucat pasi penuh dengan keringat dingin. Aku bisa mendengar jantungnya yang berdegup kencang ketika wajahnya semakin dekat ke wajahku. Sedikit lagi bibirku bersentuhan dengan bibirnya. Perlahan-lahan. Aku sangat menikmati detik-detik sebelum aku berciuman dengannya.
“Aku telah memuntahkan apel beracun itu. Sekarang kau yang menelannya. Bodoh.”
Sebelum bibirnya menyentuh bibirku, aku menikamnya dengan pisaunya sendiri yang ia pegang. Akar-akar disekitarku mencuat kembali. Melilit lehernya. Mata Orchidnya seperti ingin loncat. Badannya mengejang. Dia menangis. Beberapa detik kemudian, tubuhnya tak lagi bergerak. Tubuhnya tidak lagi bernyawa.
Aku berbaring di samping jasad Eric yang tak bernyawa. Aku memohon pada Tuhan. Aku meminta pada-Nya untuk mematikan tanah desa ini. Agar warga desa tidak lagi bisa bercocok tanam karena, tanahnya telah mati. Agar warga desa tidak lagi bisa meminum air dari sumur mereka. Agar mereka tidak lagi bisa hidup di sini. Sebagai gantinya, kurelakan jiwaku dan jiwa hutan ini. bukankah itu yang namanya setimpal?

LA FIN