Kamis, 02 Januari 2014

Sebuah Cerpen: Mati Dilumat

Mati Dilumat
By: NNaomi
Sore ini, langit murung sambil menggerutu. Awan-awan penuh dengan pikiran jahat. Membuatnya berwarna hitam pekat. Burung-burung terbang berputar-putar menghibur langit. Tapi sayang, itu tidak ada gunanya. Langit tidak lagi bisa menahan amarahnya yang meluap. Emosi langit jatuh ke bumi dengan wujud rintik hujan.
            Di bawah pohon jambu, terdengar suara seorang gadis. Lembut dengan nada yang bahagia.
“Sekarang, aku bakal kasih tau kamu hal yang belum kamu tau,”
            “Soal apa?” seorang laki-laki dengan mata coklat menjawab suara seorang gadis.
            “Hal yang bikin aku bahagia. Alias hal yang bisa membuatku ingat padamu,”
            “Apa?”
            “Waktu aku memanjat pohon jambu air, dan kau ikut memanjatnya, tapi tidak bisa,”
            “Kau mengejekku, ya! Waktu itu kakiku sedang sakit. Jadi aku terpeleset,”
            “Waktu kau mengajakku pergi ke pasar malam di ujung gang itu. Kau membelikan aku gulali dengan uang yang kau temukan di jalan,”
            “Gulalinya manis, kan? Uang nemu ga bikin rasanya berubah, kok,”
            “Waktu kau mengajakku melihat bulan di pinggir sungai, dan mengatakan kalau pantulan bulan di air sungai adalah kembaran bulan di bumi,”
            “Aku terlihat pintar, karena kau percaya dan terkagum-kagum melihat pantulan bulan di sungai. Hahaha. Konyol,”
            “Saat kau menyanyikan lagu ulang tahun untukku, walaupun suaramu sumbang,”
            “Aku rasa suaraku lebih bagus dibandingkan dengan kambing liar,”
“Sa...saat kau mencium keningku, pada malam tahun baru, dan mengucapkan selamat tahun baru,”
            Laki-laki itu diam. Ia tidak bisa membantah perasaannya.
“Saat kau membelikan aku pensil kayu, karena, aku mulai kesulitan menulis dengan pensil biasa,”
Laki-laki itu diam mengalihkan pandangan. Mata coklatnya melihat  sarang semut  yang ditembaki oleh air hujan.
“Saat kau menggenggam erat tanganku, ketika kita berjalan bersama, karena badanku mulai tidak seimbang,”
“Aku tak mau  kau jatuh tiba-tiba,”
“Saat kau membantuku menaiki tangga sekolah, ketika kakiku mulai sulit digerakan,”
Laki-laki itu diam. Pikirannya terbang, kembali ke masa lalu.
“Saat kau sabar berjalan bersamaku, karena, aku berjalan seperti pinguin. Lambat,”
Laki-laki itu mendongak, menatap bunga jambu air yang basah. Matanya terasa terbakar.
“Saat kau mengangkat kursi rodaku menaiki tangga. Aku tau itu berat, tapi kau tetap tersenyum padaku,”
Dinginnya angin menusuk kulit laki-laki itu. Badannya menggigil.
“Saat kau berkunjung ke sekolah luar biasa tempatku dipindahkan, untuk makan jambu air bareng,”
Setetes, dua tetes, tiga tetes. Begitulah cara air hujan menemani kesedihan seseorang.
             “Saat kau menemaniku seharian di rumah sakit, karena aku tidak lagi bisa berjalan dan membutuhkan perawatan khusus,”
            Setetes air mata meluncur bersamaan dengan ribuan tetesan air hujan.
            “Saat kau membawakan aku puding, bukan jambu, karena minggu itu rahangku kaku, sulit digerakan,”
            Air hujan menampari wajah laki-laki itu. Bercampur dengan tetesan air matanya.
            “Masih banyak hal yang membuatku bahagia. Tapi ada satu hal yang paling membuatku bahagia. Ketika aku dengan putus asa mengatakan padamu, bahwa aku nantinya tidak akan bisa menulis, berjalan, bergerak,  berbicara, bahkan makan, dan akhirnya aku hanya akan bisa berbaring di kasur rumah sakit, karena aku dinyatakan mengidap penyakit spinocerebellar degeneration. Tiba-tiba kau memelukku dan mengatakan kau tidak akan pergi dan berjanji akan membuatku selalu bahagia, agar aku melupakan penyakitku. Kau memang membuatku bahagia. Tapi maaf, aku ga bisa ngelupain penyakit ini. Kalau aku ngelupain penyakit ini, aku ga akan bisa berterima kasih.”
            Hening.
            “Saat mulut ini sudah tidak lagi bisa berbicara. Ketika tubuhku sudah tidak bisa digerakan. Ketika mata ini terpejam saat kau datang. Aku mau kamu tau, aku cinta sama kamu, dan aku bahagia. Sayonara.”
            Sudah tidak lagi terdengar rekaman suara gadis dari telepon genggam laki-laki itu. Tangisnya teredam oleh gemuruh hujan yang membabi buta. Hatinya teriris saat sadar kalau cintanya telah mati. Mati dilumat oleh waktu dan keadaan.

LA FIN

Cerpen ini terinspirasi dari drama Jepang, Ichi Rittoru no Namida (One Litre of Tears). Dramanya sukses bikin penontonnya bersyukur dan menangis tersedak-sedak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.