Mati Dilumat
By: NNaomi
Sore
ini, langit murung sambil menggerutu. Awan-awan penuh dengan pikiran jahat.
Membuatnya berwarna hitam pekat. Burung-burung terbang berputar-putar menghibur
langit. Tapi sayang, itu tidak ada gunanya. Langit tidak lagi bisa menahan amarahnya
yang meluap. Emosi langit jatuh ke bumi dengan wujud rintik hujan.
Di bawah pohon jambu, terdengar
suara seorang gadis. Lembut dengan nada yang bahagia.
“Sekarang,
aku bakal kasih tau kamu hal yang belum kamu tau,”
“Soal apa?” seorang laki-laki dengan
mata coklat menjawab suara seorang gadis.
“Hal yang bikin aku bahagia. Alias
hal yang bisa membuatku ingat padamu,”
“Apa?”
“Waktu aku memanjat pohon jambu air,
dan kau ikut memanjatnya, tapi tidak bisa,”
“Kau mengejekku, ya! Waktu itu
kakiku sedang sakit. Jadi aku terpeleset,”
“Waktu kau mengajakku pergi ke pasar
malam di ujung gang itu. Kau membelikan aku gulali dengan uang yang kau temukan
di jalan,”
“Gulalinya manis, kan? Uang nemu ga
bikin rasanya berubah, kok,”
“Waktu kau mengajakku melihat bulan
di pinggir sungai, dan mengatakan kalau pantulan bulan di air sungai adalah
kembaran bulan di bumi,”
“Aku terlihat pintar, karena kau
percaya dan terkagum-kagum melihat pantulan bulan di sungai. Hahaha. Konyol,”
“Saat kau menyanyikan lagu ulang
tahun untukku, walaupun suaramu sumbang,”
“Aku rasa suaraku lebih bagus
dibandingkan dengan kambing liar,”
“Sa...saat
kau mencium keningku, pada malam tahun baru, dan mengucapkan selamat tahun
baru,”
Laki-laki itu diam. Ia tidak bisa
membantah perasaannya.
“Saat
kau membelikan aku pensil kayu, karena, aku mulai kesulitan menulis dengan
pensil biasa,”
Laki-laki
itu diam mengalihkan pandangan. Mata coklatnya melihat sarang semut
yang ditembaki oleh air hujan.
“Saat
kau menggenggam erat tanganku, ketika kita berjalan bersama, karena badanku
mulai tidak seimbang,”
“Aku
tak mau kau jatuh tiba-tiba,”
“Saat
kau membantuku menaiki tangga sekolah, ketika kakiku mulai sulit digerakan,”
Laki-laki
itu diam. Pikirannya terbang, kembali ke masa lalu.
“Saat
kau sabar berjalan bersamaku, karena, aku berjalan seperti pinguin. Lambat,”
Laki-laki
itu mendongak, menatap bunga jambu air yang basah. Matanya terasa terbakar.
“Saat
kau mengangkat kursi rodaku menaiki tangga. Aku tau itu berat, tapi kau tetap
tersenyum padaku,”
Dinginnya
angin menusuk kulit laki-laki itu. Badannya menggigil.
“Saat
kau berkunjung ke sekolah luar biasa tempatku dipindahkan, untuk makan jambu
air bareng,”
Setetes,
dua tetes, tiga tetes. Begitulah cara air hujan menemani kesedihan seseorang.
“Saat kau menemaniku seharian di rumah sakit,
karena aku tidak lagi bisa berjalan dan membutuhkan perawatan khusus,”
Setetes air mata meluncur bersamaan
dengan ribuan tetesan air hujan.
“Saat kau membawakan aku puding,
bukan jambu, karena minggu itu rahangku kaku, sulit digerakan,”
Air hujan menampari wajah laki-laki
itu. Bercampur dengan tetesan air matanya.
“Masih banyak hal yang membuatku
bahagia. Tapi ada satu hal yang paling membuatku bahagia. Ketika aku dengan
putus asa mengatakan padamu, bahwa aku nantinya tidak akan bisa menulis,
berjalan, bergerak, berbicara, bahkan
makan, dan akhirnya aku hanya akan bisa berbaring di kasur rumah sakit, karena
aku dinyatakan mengidap penyakit spinocerebellar
degeneration. Tiba-tiba kau memelukku dan mengatakan kau tidak akan pergi
dan berjanji akan membuatku selalu bahagia, agar aku melupakan penyakitku. Kau
memang membuatku bahagia. Tapi maaf, aku ga bisa ngelupain penyakit ini. Kalau
aku ngelupain penyakit ini, aku ga akan bisa berterima kasih.”
Hening.
“Saat mulut ini sudah tidak lagi
bisa berbicara. Ketika tubuhku sudah tidak bisa digerakan. Ketika mata ini
terpejam saat kau datang. Aku mau kamu tau, aku cinta sama kamu, dan aku
bahagia. Sayonara.”
Sudah tidak lagi terdengar rekaman
suara gadis dari telepon genggam laki-laki itu. Tangisnya teredam oleh gemuruh
hujan yang membabi buta. Hatinya teriris saat sadar kalau cintanya telah mati.
Mati dilumat oleh waktu dan keadaan.
LA FIN
Cerpen ini terinspirasi dari drama Jepang, Ichi Rittoru no Namida (One Litre of Tears). Dramanya sukses bikin penontonnya bersyukur dan menangis tersedak-sedak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.