Bintang Jatuh yang Tertelan
NNaomi
Rasa
cinta benar-benar datang seperti bintang jatuh yang menyayat malam dengan
cahaya silau yang bertabur seribu harapan. Ketika melihat bintang jatuh spontan
kelopak mata akan tertutup dan hati mulai mengucap harapan. Kau percaya bintang
jatuh dapat mengabulkan harapan mu? Bukan kah itu mustahil?
Kilauan cahaya bintang jatuh secepat
kilat tertelan kelamnya malam. Saat rasa cinta ini begitu nyata, secepat kilat
keadaan menelannya.
Semua itu, dimulai dari daun yang
menggigil terselimuti kabut. Aku keluar rumah dengan belek rontok dari pelupuk
mataku. Srak..srak.. kebun bunga matahari nenek bergoyang-goyang seperti ada
yang menebasnya dari bawah. Aku berlari ke dalam rumah mengambil senter dan
tongkat bisball lalu kembali lagi.
“SIAPA DISANA!!”
“Bolehkah aku meminta beberapa saja
bunga mataharimu?” sahut seorang laki-laki dari balik bunga matahari yang
menutupi mukanya.
“Tidak!” ku tarik bunga matahari
yang dipegangnya. Terlihat wajah seorang laki-laki seumuranku menatapku kecewa.
Bulu matanya seperti kuas tebal tapi juga lentik. Hidungnya tidak terlalu
mancung. Bibirnya tipis. Warna matanya hitam tertutup gelapnya subuh.
Laki-laki itu berbalik pergi.
“Hei jangan pergi kau maling! Minta maaflah!”
laki-laki itu tidak menjawab.
Itulah awal segalanya. Laki-laki itu
bernama Ei dia ke desaku hanya untuk menghabiskan libur semester. Aku sering
melihatnya dipinggir sungai memandang air dan eceng gondok dengan tatapan
bosan.
“Hei pencuri bunga matahari! Jangan coba-coba
menyusun rencana untuk mencuri bunga matahari nenek ku lagi!” teriakku dari
belakang. Dia menoleh dan tersenyum padaku. Senyumnya begitu, manis.
“Desa ini sangat membosankan! Bagaimana
penduduk desa disini bisa hidup dengan suasana membosankan?! Hah!” jawabnya
lantang. Senyum manisnya sekedar topeng rupanya.
“Enak saja! Kau pikir di kotamu yang
penuh dengan polusi lebih membahagiakan? Bisa-bisa orang bisa stres dan cepat
mati” jawabku asal.
Raut mukanya terlihat kaget
mendengarku berkata seperti itu. “hemm, kalau begitu buktikan dan tunjukan
kebahagiaan yang kau punya di desa ini. Itu pun kalau ada”, ucapnya dengan nada
menantang.
“Mudah saja! Ikut aku!” sahutku
bersemangat. Akan ku tunjukan semua kebahagiaan yang ku dapat dari desa ini.
Ku ajak dia menanam bibit bunga
matahari di halamannya agar dia tidak mencoba mencuri lagi. Ku ajarkan dia cara
mencari kumbang pagi dengan cara mengendap-endap di antara ratusan bunga
matahari, diakhiri dengan menyaksikan fajar mengusir-usir kabut. Ku tantang dia
berperang dengan senjata biji semangka di dalam mulut. Ku tantang dia makan
kelopak bunga matahari, dan dia benar-benar berhasil menjadi penggemar kelopak
bunga matahari mentah.
Saat ku tanya, “bagaimana rasa
kelopak bunga matahari?”
“Rasanya seperti memakan matahari
terbit”, jawabnya sambil memasang senyumnya.
Suatu hari nenekku sangat marah
karena aku ketauan mengendap-endap diantara bunga-bunga matahari, itu bisa
menyebabkan akar bunga matahari rapuh, katanya. Saat itu aku sedang bersama Ei
di tengah-tengah hamparan bunga matahari. Aku bersembunyi dari nenekku dan
berjarak hanya beberapa senti dari wajah Ei. Sampai-sampai detak jantungku
terdengar Ei, mungkin.
Ei
Aishiteru
Cahaya itu dipaksa lenyap di malam sebelum Ei
pulang ke rumahnya di kota.
“Ternyata kau benar-benar bisa
menunjukan kebahagiaan yang ada di desa ini, sayangnya aku tidak bisa terus di
sini”, ucap Ei pelan. Matanya memandang langit. Berusaha keras menyembunyikan
kesedihan.
“Aku tau, jangan lupakan semua ini”,
jawabku.
Ei menggenggam kedua tangan ku, dan
berkata “tidak akan”.
Aku terpesona dengan mata kelamnya. Jantungku
kembali terdengar. Ada sesuatu yang tersangkut di ujung kerongkongan menuju
lidah. Sesuatu yang berasal dari hati. Sesuatu yang memaksa untuk diutarakan. Sesuatu
yang tak ingin kehilangan laki-laki yang berada di depannya sekarang.
“Ei.. aku...” sahutku terbata-bata.
Aku
berhasil mengucapkannya tepat ketika kembang api meledak di langit tepat di
atas kepala kami.
“Aku tidak bisa mendengarmu! Tapi ada
yang ingin ku katakan Ann!”, Ei berteriak agar aku mendengarnya.
“Apa?!”, aku balik berteriak.
“Sebenarnya kita saudara!! Aku sangat
senang bersaudara dengamu!”
Detik seperti berhenti. Seketika fakta
menyeretku ke dalam kenyataan ‘aku tak bisa mencintai Ei sebagai seorang
laki-laki. Ei dan aku tidak akan melewati batas hubungan untaian darah diantara
kami’. Kini bintang jatuh itu benar-benar tertelan kelamnya malam.
“Ann? Jangan bengong! Tadi kau
bilang apa?”, sahut Ei sambil memasang senyum yang akan kurindukan.
“Ti..tidak. Bagaimana bisa kita
bersaudara? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya” , jawabku nyerocos.
“Kelahiranku memang tidak diinginkan
oleh nenek kita apalagi kakek. Itu sebabnya aku tidak pernah ikut kumpulan
keluarga bersamamu. Ini pertama kalinya aku ke sini”
Air mataku menetes begitu saja. Ada yang
kecewa di balik detak jantung ini. Rasanya seperti ingin bertanya
sekeras-kerasnya. MENGAPA? MENGAPA EI?
“Ann?”, Ei terlihat terkejut melihat
reaksiku.
“A..aku juga se..senang bersaudara
denganmu”, jawabku pelan. Pelan sekali.
Begitu ya. Begitu.
FIN