Rabu, 15 Oktober 2014

Bintang Jatuh yang Tertelan


           
Bintang Jatuh yang Tertelan         
 NNaomi
            


Rasa cinta benar-benar datang seperti bintang jatuh yang menyayat malam dengan cahaya silau yang bertabur seribu harapan. Ketika melihat bintang jatuh spontan kelopak mata akan tertutup dan hati mulai mengucap harapan. Kau percaya bintang jatuh dapat mengabulkan harapan mu? Bukan kah itu mustahil?

            Kilauan cahaya bintang jatuh secepat kilat tertelan kelamnya malam. Saat rasa cinta ini begitu nyata, secepat kilat keadaan menelannya. 
         Semua itu, dimulai dari daun yang menggigil terselimuti kabut. Aku keluar rumah dengan belek rontok dari pelupuk mataku. Srak..srak.. kebun bunga matahari nenek bergoyang-goyang seperti ada yang menebasnya dari bawah. Aku berlari ke dalam rumah mengambil senter dan tongkat bisball lalu kembali lagi.
            “SIAPA DISANA!!”
            “Bolehkah aku meminta beberapa saja bunga mataharimu?” sahut seorang laki-laki dari balik bunga matahari yang menutupi mukanya.
            “Tidak!” ku tarik bunga matahari yang dipegangnya. Terlihat wajah seorang laki-laki seumuranku menatapku kecewa. Bulu matanya seperti kuas tebal tapi juga lentik. Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya tipis. Warna matanya hitam tertutup gelapnya subuh.
            Laki-laki itu berbalik pergi.
            “Hei jangan pergi kau maling! Minta maaflah!” laki-laki itu tidak menjawab.
            Itulah awal segalanya. Laki-laki itu bernama Ei dia ke desaku hanya untuk menghabiskan libur semester. Aku sering melihatnya dipinggir sungai memandang air dan eceng gondok dengan tatapan bosan.
            “Hei pencuri bunga matahari! Jangan coba-coba menyusun rencana untuk mencuri bunga matahari nenek ku lagi!” teriakku dari belakang. Dia menoleh dan tersenyum padaku. Senyumnya begitu, manis.
            “Desa ini sangat membosankan! Bagaimana penduduk desa disini bisa hidup dengan suasana membosankan?! Hah!” jawabnya lantang. Senyum manisnya sekedar topeng rupanya.
            “Enak saja! Kau pikir di kotamu yang penuh dengan polusi lebih membahagiakan? Bisa-bisa orang bisa stres dan cepat mati” jawabku asal.
            Raut mukanya terlihat kaget mendengarku berkata seperti itu. “hemm, kalau begitu buktikan dan tunjukan kebahagiaan yang kau punya di desa ini. Itu pun kalau ada”, ucapnya dengan nada menantang.
            “Mudah saja! Ikut aku!” sahutku bersemangat. Akan ku tunjukan semua kebahagiaan yang ku dapat dari desa ini.
            Ku ajak dia menanam bibit bunga matahari di halamannya agar dia tidak mencoba mencuri lagi. Ku ajarkan dia cara mencari kumbang pagi dengan cara mengendap-endap di antara ratusan bunga matahari, diakhiri dengan menyaksikan fajar mengusir-usir kabut. Ku tantang dia berperang dengan senjata biji semangka di dalam mulut. Ku tantang dia makan kelopak bunga matahari, dan dia benar-benar berhasil menjadi penggemar kelopak bunga matahari mentah.
            Saat ku tanya, “bagaimana rasa kelopak bunga matahari?”
            “Rasanya seperti memakan matahari terbit”, jawabnya sambil memasang senyumnya.  
            Suatu hari nenekku sangat marah karena aku ketauan mengendap-endap diantara bunga-bunga matahari, itu bisa menyebabkan akar bunga matahari rapuh, katanya. Saat itu aku sedang bersama Ei di tengah-tengah hamparan bunga matahari. Aku bersembunyi dari nenekku dan berjarak hanya beberapa senti dari wajah Ei. Sampai-sampai detak jantungku terdengar Ei, mungkin.
            Ei
            Aishiteru
             Cahaya itu dipaksa lenyap di malam sebelum Ei pulang ke rumahnya di kota.
            “Ternyata kau benar-benar bisa menunjukan kebahagiaan yang ada di desa ini, sayangnya aku tidak bisa terus di sini”, ucap Ei pelan. Matanya memandang langit. Berusaha keras menyembunyikan kesedihan.
            “Aku tau, jangan lupakan semua ini”, jawabku.
            Ei menggenggam kedua tangan ku, dan berkata “tidak akan”.
            Aku terpesona dengan mata kelamnya. Jantungku kembali terdengar. Ada sesuatu yang tersangkut di ujung kerongkongan menuju lidah. Sesuatu yang berasal dari hati. Sesuatu yang memaksa untuk diutarakan. Sesuatu yang tak ingin kehilangan laki-laki yang berada di depannya sekarang.
            “Ei.. aku...” sahutku terbata-bata.
Aku berhasil mengucapkannya tepat ketika kembang api meledak di langit tepat di atas kepala kami.
            “Aku tidak bisa mendengarmu! Tapi ada yang ingin ku katakan Ann!”, Ei berteriak agar aku mendengarnya.
            “Apa?!”, aku balik berteriak.
            “Sebenarnya kita saudara!! Aku sangat senang bersaudara dengamu!”
            Detik seperti berhenti. Seketika fakta menyeretku ke dalam kenyataan ‘aku tak bisa mencintai Ei sebagai seorang laki-laki. Ei dan aku tidak akan melewati batas hubungan untaian darah diantara kami’. Kini bintang jatuh itu benar-benar tertelan kelamnya malam.
            “Ann? Jangan bengong! Tadi kau bilang apa?”, sahut Ei sambil memasang senyum yang akan kurindukan.
            “Ti..tidak. Bagaimana bisa kita bersaudara? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya” , jawabku nyerocos.
            “Kelahiranku memang tidak diinginkan oleh nenek kita apalagi kakek. Itu sebabnya aku tidak pernah ikut kumpulan keluarga bersamamu. Ini pertama kalinya aku ke sini”
            Air mataku menetes begitu saja. Ada yang kecewa di balik detak jantung ini. Rasanya seperti ingin bertanya sekeras-kerasnya. MENGAPA? MENGAPA EI?
            “Ann?”, Ei terlihat terkejut melihat reaksiku.
            “A..aku juga se..senang bersaudara denganmu”, jawabku pelan. Pelan sekali.         
            Begitu ya. Begitu.

FIN