By NNaomi
Hans
duduk tepat di depanku. Bahunya yang lebar membatasi pandangan ku ke luar
jendela perpustakaan. Tatapan matanya seolah menyekat imajinasi. Bibirnya,
membuatku merasa seperti orang egois yang membenci seseorang karena hal sepele.
Lima menit yang lalu aku membencinya. Sangat membencinya.
“Tulislah”,
ucapnya.
“Mengapa
tidak kau saja yang menulis naskahnya!!”, jawabku sambil melempar pensil ke
arahnya.
“Memangnya
siapa yang sutradara?”
Dia
mulai memojokanku. Aku diam saja.
Seminggu
lagi akan ada pertunjukan drama. Aku sutradaranya. Sekaligus yang membuat
naskah drama. Mungkin pentas drama ini akan menjadi yang terakhir, karena tahun
depan aku sudah lulus.
“Bukannya
kau sendiri yang ingin membuat drama yang bisa membawa perasaan semua penonton?”
Dia
benar, aku sendiri yang ingin membuat pertunjukan drama ini berkesan. Tapi, aku
benar-benar tidak tau harus menulis apa. Perasaanku benar-benar campur aduk
sekarang. Sebelum menulis, aku harus meluruskan pikiranku dulu.
“Mengapa
kau mengatakan ke pacarku kalau aku tidak mencintainya lagi?”, tanyaku sambil
menahan emosi.
“Bukannya
itu benar ya? Habis, kau terlihat memaksakan diri berada di sampingnya”,
jawabnya seolah tidak peduli.
SRAKKK!
Ku
lempar lembar-lembar naskah yang masih kosong ke arahnya. Kertas-kertas itu
menghantam mukanya lalu jatuh berserakan kemana-mana.
Hans
menahan nafas dan menghembuskannya dengan cepat. Lalu bangun dari kursinya dan
mulai membereskan satu persatu kertas yang kulempar tadi.
“Kau
tau? Pacarku benar-benar percaya kata-katamu. Dia bertanya padaku tentang
perasaanku yang sebenarnya. Karena aku kaget, aku tidak menjawabnya. Awalnya dia
menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak bisa menemaniku sepanjang hari. Tapi,
pada akhirnya dia menyalahkan aku. Dia bilang aku egois, tidak pernah mengerti
perasaannya. Dan dia bilang aku mencintai orang lain dan menghianatinya.”
Pandanganku
tiba-tiba kabur. Ada cairan bening yang membiaskan laju cahaya ke dalam mataku.
Seperti ada yang menahan nafasku hingga dada ini sesak. Kukepalkan tanganku
hingga bergetar menahan kesal.
“Memang
seharusnya kau mencintai orang lain”, jawabnya dengan nada acuh tak acuh sambil
menyodorkan kertas-kertas ke hadapanku.
“Kau
tidak berhak mencampuri urusanku atau perasaanku!!”, cairan bening ini mulai
meluncur, menetes deras dari daguku. “Kau tidak tau apa-apa tentang perasaan
ini!!”
“Kau
benar, aku memang tidak tau apa-apa tentang perasaan atau kisahmu yang
sebenarnya. Maka dari itu, kau harus mencurahkannya dalam naskah. Dengan begitu
kau akan membuat naskah yang bisa menggerakan perasaan semua penonton.”
“Sial!
Ternyata kau hanya memikirkan naskah. Kau benar-benar tidak peduli dengan
perasaanku! Kau benar-benar egois! Seenaknya! Tidak punya perasaan! Dan.....”
“Emp..”,
Mataku terbelalak.Tiba-tiba dia menciumku. Ku dorong tubuhnya.
PLAKK!!
“Jika
hanya naskah yang kau pikirkan, BUATLAH SENDIRI!!”
Aku
tidak peduli jika tamparanku menyakitinya. Dia memang pantas mendapatkannya.
Sudah
dua hari berlalu. Aku tak pernah menyapanya, atau berbicara dengannya lagi. Bahkan
aku berpura-pura menganggapnya tidak ada.
Keesokannya
aku melihat mantan pacarku bergandengan dengan gadis lain. Padahal baru saja dua
hari kami putus. Saat itu juga aku sadar, sebelum putus dia selingkuh. Aku benar-benar
tidak tahu apa-apa. Sekarang hanya sedih yang tersisa.
Aku
mulai menebak-nebak apa alasan Hans membuatku putus dengan pacarku. Tidak-tidak!
Aku sudah tau alasannya pasti dia memanfaatkan hal ini agar aku sedih dan membuat
naskah yang sedih pula. Buktinya dia bersikap tidak peduli. Kelakuannya benar-benar
kelewatan. Tiba-tiba aku merasa harus kembali ke perpustakaan dan menulis
naskah. Mungkin saja rasa sedih ini akan sedikit hilang.
Sejam kemudian, aku mulai tidak yakin dengan
naskah yang telah aku tulis. Mungkin aku harus memperbaiki kata-katanya. Kucari
buku-buku yang bisa memacu diksi.
Ketika
jari-jari ini menyentuh buku-buku yang berjajar, kejadian-kejadian itu kembali
membayang. Mata ini kembali buram. Apa salahku? Kenapa cerita ini begitu runyam?
“Jangan
bergerak!”, ucap seorang laki-laki dari belakangku. Aku mencoba menoleh.
“Tolong,
jangan menoleh!”, ucap laki-laki itu lagi. Suara ini, suara Hans.
“Dengarkan
aku, kau tidak perlu menjawab atau melihatku”
Hans
memojokkanku hingga aku bisa mencium bau debu rak-rak buku.
“Aku
sudah tidak tahan lagi tidak berbicara denganmu. Aku minta maaf. Aku tidak
ingin kau terluka lebih dari ini. Aku...”
“HACHIM!”,
tak sengaja aku bersin. Hans langsung membalikkan badanku.
“Kau
flu?”
Aku
menggeleng lalu memeluknya.
“Kau
yang tidak bisa ditebak. Hati ini rasanya sakit. Dia benar-benar bersama orang
lain sekarang. Ki..kisah ini benar-benar memuakkan”, bisikku.
“Aku
ingin jadi orang yang memperbaiki kisahmu” , jawabnya.
FIN