Jumat, 26 September 2014

Kau yang Tidak Bisa Ditebak


Kau yang Tidak Bisa Ditebak
By NNaomi
Hans duduk tepat di depanku. Bahunya yang lebar membatasi pandangan ku ke luar jendela perpustakaan. Tatapan matanya seolah menyekat imajinasi. Bibirnya, membuatku merasa seperti orang egois yang membenci seseorang karena hal sepele. Lima menit yang lalu aku membencinya. Sangat membencinya.
“Tulislah”, ucapnya.
“Mengapa tidak kau saja yang menulis naskahnya!!”, jawabku sambil melempar pensil ke arahnya.
“Memangnya siapa yang sutradara?”
Dia mulai memojokanku. Aku diam saja.
Seminggu lagi akan ada pertunjukan drama. Aku sutradaranya. Sekaligus yang membuat naskah drama. Mungkin pentas drama ini akan menjadi yang terakhir, karena tahun depan aku sudah lulus.
“Bukannya kau sendiri yang ingin membuat drama yang bisa membawa perasaan semua penonton?”
Dia benar, aku sendiri yang ingin membuat pertunjukan drama ini berkesan. Tapi, aku benar-benar tidak tau harus menulis apa. Perasaanku benar-benar campur aduk sekarang. Sebelum menulis, aku harus meluruskan pikiranku dulu.
“Mengapa kau mengatakan ke pacarku kalau aku tidak mencintainya lagi?”, tanyaku sambil menahan emosi.
“Bukannya itu benar ya? Habis, kau terlihat memaksakan diri berada di sampingnya”, jawabnya seolah tidak peduli.
SRAKKK!
Ku lempar lembar-lembar naskah yang masih kosong ke arahnya. Kertas-kertas itu menghantam mukanya lalu jatuh berserakan kemana-mana. 
Hans menahan nafas dan menghembuskannya dengan cepat. Lalu bangun dari kursinya dan mulai membereskan satu persatu kertas yang kulempar tadi.
“Kau tau? Pacarku benar-benar percaya kata-katamu. Dia bertanya padaku tentang perasaanku yang sebenarnya. Karena aku kaget, aku tidak menjawabnya. Awalnya dia menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak bisa menemaniku sepanjang hari. Tapi, pada akhirnya dia menyalahkan aku. Dia bilang aku egois, tidak pernah mengerti perasaannya. Dan dia bilang aku mencintai orang lain dan menghianatinya.”  
Pandanganku tiba-tiba kabur. Ada cairan bening yang membiaskan laju cahaya ke dalam mataku. Seperti ada yang menahan nafasku hingga dada ini sesak. Kukepalkan tanganku hingga bergetar menahan kesal.
“Memang seharusnya kau mencintai orang lain”, jawabnya dengan nada acuh tak acuh sambil menyodorkan kertas-kertas ke hadapanku.
“Kau tidak berhak mencampuri urusanku atau perasaanku!!”, cairan bening ini mulai meluncur, menetes deras dari daguku. “Kau tidak tau apa-apa tentang perasaan ini!!”
“Kau benar, aku memang tidak tau apa-apa tentang perasaan atau kisahmu yang sebenarnya. Maka dari itu, kau harus mencurahkannya dalam naskah. Dengan begitu kau akan membuat naskah yang bisa menggerakan perasaan semua penonton.”
“Sial! Ternyata kau hanya memikirkan naskah. Kau benar-benar tidak peduli dengan perasaanku! Kau benar-benar egois! Seenaknya! Tidak punya perasaan! Dan.....”
“Emp..”, Mataku terbelalak.Tiba-tiba dia menciumku. Ku dorong tubuhnya.
PLAKK!!
“Jika hanya naskah yang kau pikirkan, BUATLAH SENDIRI!!”
Aku tidak peduli jika tamparanku menyakitinya. Dia memang pantas mendapatkannya.
Sudah dua hari berlalu. Aku tak pernah menyapanya, atau berbicara dengannya lagi. Bahkan aku berpura-pura menganggapnya tidak ada.
Keesokannya aku melihat mantan pacarku bergandengan dengan gadis lain. Padahal baru saja dua hari kami putus. Saat itu juga aku sadar, sebelum putus dia selingkuh. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Sekarang hanya sedih yang tersisa.
Aku mulai menebak-nebak apa alasan Hans membuatku putus dengan pacarku. Tidak-tidak! Aku sudah tau alasannya pasti dia memanfaatkan hal ini agar aku sedih dan membuat naskah yang sedih pula. Buktinya dia bersikap tidak peduli. Kelakuannya benar-benar kelewatan. Tiba-tiba aku merasa harus kembali ke perpustakaan dan menulis naskah. Mungkin saja rasa sedih ini akan sedikit hilang.
 Sejam kemudian, aku mulai tidak yakin dengan naskah yang telah aku tulis. Mungkin aku harus memperbaiki kata-katanya. Kucari buku-buku yang bisa memacu diksi.
Ketika jari-jari ini menyentuh buku-buku yang berjajar, kejadian-kejadian itu kembali membayang. Mata ini kembali buram. Apa salahku? Kenapa cerita ini begitu runyam?
“Jangan bergerak!”, ucap seorang laki-laki dari belakangku. Aku mencoba menoleh.
“Tolong, jangan menoleh!”, ucap laki-laki itu lagi. Suara ini, suara Hans.
“Dengarkan aku, kau tidak perlu menjawab atau melihatku”
Hans memojokkanku hingga aku bisa mencium bau debu rak-rak buku.
“Aku sudah tidak tahan lagi tidak berbicara denganmu. Aku minta maaf. Aku tidak ingin kau terluka lebih dari ini. Aku...”
“HACHIM!”, tak sengaja aku bersin. Hans langsung membalikkan badanku.
“Kau flu?”
Aku menggeleng lalu memeluknya.
“Kau yang tidak bisa ditebak. Hati ini rasanya sakit. Dia benar-benar bersama orang lain sekarang. Ki..kisah ini benar-benar memuakkan”, bisikku.
“Aku ingin jadi orang yang memperbaiki kisahmu” , jawabnya.

 FIN