SAGA (Part 1): Senja Batu Bersinar
NNaomi
NNaomi
Kulitku merasakan temperatur rendah
dalam ruangan ini. Ruangan tempatku berbaring terasa seperti lemari es. Ku
dekap selimut tebal yang menyelimutiku. Tapi dingin seperti tanpa celah
menembus pori-pori kulitku. Ku buka mataku. Gelap. Kupejamkan lagi, mencoba
menghiraukan gelap dan dingin.
Ketika aku memejamkan mata, sekelebat ingatan
lewat dalam bayangan. Ingatan ketika aku menghabiskan musim panasku di rumah Nenek
di pantai Lost Wave.
Saat itu umurku 12 tahun. Sebelum
liburan musim panas dimulai Paman Jen menelepon ibuku. Dia bilang pada ibuku,
dia harus pergi ke luar kota. Urusannya tidak ada hubungannya sama sekali
denganku. Tapi dirinya membuatku terpaksa menghabiskan musim panas di rumahnya.
Nenek terlalu tua untuk ditinggal seorang diri dengan seorang suster di rumah
Paman Jen, katanya.
“Lebih baik aku di rumah saja dan
makan sereal selama seminggu penuh,” Jawabku kesal ketika Ibu mengajakku pergi
ke rumah Paman Jen untuk menemani Nenek.
“Oh ayolah Saga, rumah Paman Jen
dekat dengan pantai. Kau pasti menyukainya. Ibu akan banyak meeting ketika kau
bersantai di rumah,”
Aku tahu rumah Paman Jen dekat
pantai Lost Wave. Pantai yang indah. Tapi, bukan itu masalahnya.
“Ibu yakin Grandma punya segudang
cerita untukmu. Kau tau kan dia pemain biola profesional saat masih muda?”
sambung Ibu lagi.
“Aku tahu. Tapi untuk apa aku
berbicara dengannya ketika dia lupa kalau aku cucunya. Grandma selalu
memanggilku dengan nama kucingnya yang sudah mati”
“Grandma sudah terlalu tua. Harusnya
kau memaafkannya”, urat wajah Ibuku mulai terlihat. Moodnya mulai tidak bagus
karena aku terus membantahnya.
“Ya, aku sudah memaafkannya. Tapi..
aku tidak akan pergi ke rumah Paman Jen untuk menjaganya”, sahutku pelan. Pelan
sekali seperti berbisik.
“Sayang sekali, kau juga tidak akan
menonton konser Leah selanjutnya”
Argh, itulah ultimatumnya, ‘tidak
boleh nonton konser Leah’. Aku kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku diam.
Leah,
idolaku akhir-akhir ini. Konsernya sangat fantastic dan aku telah berjanji akan
menonton konser Leah selanjutnya. Rasanya berat sekali jika aku tidak menonton
konser selanjutnya. Aku menyerah.
“Aku
akan pergi ke rumah Paman Jen dan juga akan menonton konser Leah selanjutnya”,
ku korbanan liburan musim panasku. Beberapa hari.
“Terima
kasih, Saga!”, Ibuku memelukku sambil menebar senyum kemenangan atas
ultimatumnya.
Dan
disinilah aku, di rumah Paman Jen dan melihat Grandma duduk di sofanya. Grandma
hanya diam. Aku juga. Suster sedang membereskan bekas makan siang Grandma dan
aku di dapur. Ibuku pergi lagi untuk meeting penting. Entahlah meeting apa itu.
“Hallo,
Grandma. A..apa kabar?”, rasanya aneh berbicara dengan Grandma sekarang.
“Kitty?
Kemarilah kucing manis..berbulu putih”, jawab Grandma seolah barusan aku mengeong
padanya.
Aku
duduk di sampingya. Memandangi keriput di setiap jari-jarinya.
“Kemana
saja Kitty? Apa kau ingin mencari batu bersinar di pantai?”
“Tidak
Grandma, aku hanya sebentar disini”, jawabku sambil menatap matanya yang
terselimuti keriput.
“Oooh..
sayang sekali. Kalau begitu ayo kita mencarinya sekarang”
Grandma
mencoba untuk bangun dari sofanya dengan susah payah. Seolah dia tidak lagi
punya tenaga utuk menggerakan tulangnya. Tapi dia berhasil dan berjalan ke arah
pintu.
“Grandma
mau kemana?” tanyaku.
“Ayo
Kitty kita ke pantai mencari batu bersinar!”, ucapnya seolah olah dia sedang
bermain dengan kucingnya yang sudah
mati.
Grandma
keluar rumah.
“Susteeeer!”,
teriakku memanggil. Tapi Suster tidak keluar dari dapur. Argh, Grandma sudah
mulai jauh berjalan. Cepat juga dia berjalan untuk orang seumurannya. Lebih
baik aku mengikutnya dari belakang sebelum Grandma menghilang.
Sesampainya
di pantai, pantainya sangat ramai. Banyak orang yang berjemur. Tapi Grandma
tidak menghiraukan apapun. Dia berjalan menuju ombak.
“Grandma,
STOP!” Aku menahan lengan Grandma agar dia tidak berjalan lebih jauh.
“Ada
apa Kitty? Batu bersinar ada di sana” jarinya menunjuk lautan.
“Tidak
Grandma. Aku yakin batu bersinarnya ada di sana” ku tunjuk tempat yang jauh
dari bibir pantai.
“Oke,
ayo kita cari di sana” Grandma menuju tempat yang kutunjuk.
TINGNUNG.
Ada chat message dari temanku. Betapa beruntungnya temanku liburan musim panasnya
menyenangkan. Tidak sepertiku.
“Grandma?!”
ketika aku sadar Grandma sudah tidak terlihat diantara kerumunan orang. Sial.
Jika Grandma menghilang, maka ini salahku karena tidak mengawasinya.
“Grandma!!
Grandma!!” kutelusuri pantai dari ujung ke ujung. Tapi aku tidak menemukannya.
Atau aku yang tidak melihatnya karena pantai sangat ramai. Kutelusuri pantai
dari ujung ke ujung sekali lagi. Tapi Grandma benar-benar tidak ada. Aku mulai
panik. Bagaimana jika Grandma tersesat dan lupa jalan pulang? Bagaimana jika
dia lupa namanya atau cat rumahnya ketika ditanya polisi yang mencoba
membantunya? Bagaimana jikaa... Argh! Aku harus kembali ke rumah dan minta
bantuan suster mencari Grandma.
Sesampainya
di rumah, suster tidak ada di sana. Grandma juga tidak ada. Rumah begitu sepi.
Jangan-jangan suster sudah menyadari aku dan Grandma menghilang dan sedang
mencari kita berdua. Aku keluar rumah dan mencari Grandma lagi. Setiap jalan,
setiap gang kutelusuri. Tapi tidak ada Grandma. Aku mulai menangis sambil
berjalan. Menyalahkan diriku sendiri. Berpikiran hal-hal buruk yang terjadi
pada Grandma apabila dia tidak ditemukan.
Hari
sudah mulai gelap. Jingga mulai menelusuri langit. Aku tidak menemukan Grandma
di jalan manapun. Aku lelah. Tapi aku tidak ingin pulang. Karena jika aku
pulang, dan mengatakan Grandma menghilang, itu sangat menyedihkan. Aku berjalan
menuju pantai. Aku ingin diam di pantai saja dan menunggu orang rumah
menemukanku.
Ketika
aku sampai di pantai aku terduduk di pasir sambil tertunduk dan menangis. Ini
musim panas terburuk. Grandma maafkan aku.
Ketika
air mataku kering tertiup angin pantai, aku mendongak melihat senja. Tapi, ada
seseorang di depan sana. Tubuh bungkuknya menghalangi pemandangan senja. Aku
berjalan menuju orang bungkuk itu.
“Grand..maa..”,
suaraku seperti tercekik ketika melihat orang itu ternyata Grandma. Ku peluk
dia.
“Saga,
aku menemukan batu bersinar. Dengarkan lah suaranya”, ucap Grandma.
Grandma
menyebut namaku. Aku senang. Tapi lebih senang karena menemukannya. Batu
bersinar yang bisa bersuara? Aku juga senang ia menemukan batu bersinar konyol
itu.
Grandma
memberiku kerang segenggaman tangan yang berkelip terkena matahari senja. Ternyata
batu bersinar yang dimasud adalah kerang.
“Dengarkan
lah, suaranya sangat indah.” Ucap Grandma.
Ku
letakkan ‘batu bersinar’ (yang ternyata kerang) itu di telingaku. Alisku terasa
naik dan bibirku melebar. Suara ini...
“Indah,
bukan?” tanya Grandma padaku yang masih diam.
Aku
mengangguk.
Kerang
itu membuat suara ombak dan desiran angin terdengar sangat lembut. Kerang itu seperti
microphone yang memperindah suara ombak dan desiran angin. Aku memejamkan mata
dan menikmati suara itu. Indah. Ku buka mataku dan melihat jingga yang telah
menutupi biru dan menenggelamkan senja. Senja terindah yang pernah kulihat.
“Kitty,
ayo kita pulang, bawa batu bersinar itu!” Grandma menggandeng tanganku.
Kejadian
itu masih sangat kuingat. Grandma, batu bersinar, warna-warna senja, dan
pantai. Rasanya aku ingin mengulangnya lagi.
Aku
tertidur sebentar dan terbangun lagi. Sudah tidak terlalu terasa dingin. Kubuka
mataku tapi masih gelap. Kupejamkan mataku lagi mencoba memimpikan seesuatu.
BERSAMBUNG