Kamis, 24 Juli 2014

Saga (Part 1) : Senja Batu Bersinar



          
 

 SAGA (Part 1): Senja Batu Bersinar 
NNaomi




             Kulitku merasakan temperatur rendah dalam ruangan ini. Ruangan tempatku berbaring terasa seperti lemari es. Ku dekap selimut tebal yang menyelimutiku. Tapi dingin seperti tanpa celah menembus pori-pori kulitku. Ku buka mataku. Gelap. Kupejamkan lagi, mencoba menghiraukan gelap dan dingin.
       Ketika aku memejamkan mata, sekelebat ingatan lewat dalam bayangan. Ingatan ketika aku menghabiskan musim panasku di rumah Nenek di pantai Lost Wave.
            Saat itu umurku 12 tahun. Sebelum liburan musim panas dimulai Paman Jen menelepon ibuku. Dia bilang pada ibuku, dia harus pergi ke luar kota. Urusannya tidak ada hubungannya sama sekali denganku. Tapi dirinya membuatku terpaksa menghabiskan musim panas di rumahnya. Nenek terlalu tua untuk ditinggal seorang diri dengan seorang suster di rumah Paman Jen, katanya.
            “Lebih baik aku di rumah saja dan makan sereal selama seminggu penuh,” Jawabku kesal ketika Ibu mengajakku pergi ke rumah Paman Jen untuk menemani Nenek.
            “Oh ayolah Saga, rumah Paman Jen dekat dengan pantai. Kau pasti menyukainya. Ibu akan banyak meeting ketika kau bersantai di rumah,”
            Aku tahu rumah Paman Jen dekat pantai Lost Wave. Pantai yang indah. Tapi, bukan itu masalahnya.
            “Ibu yakin Grandma punya segudang cerita untukmu. Kau tau kan dia pemain biola profesional saat masih muda?” sambung Ibu lagi.
            “Aku tahu. Tapi untuk apa aku berbicara dengannya ketika dia lupa kalau aku cucunya. Grandma selalu memanggilku dengan nama kucingnya yang sudah mati”
            “Grandma sudah terlalu tua. Harusnya kau memaafkannya”, urat wajah Ibuku mulai terlihat. Moodnya mulai tidak bagus karena aku terus membantahnya.
            “Ya, aku sudah memaafkannya. Tapi.. aku tidak akan pergi ke rumah Paman Jen untuk menjaganya”, sahutku pelan. Pelan sekali seperti berbisik.
            “Sayang sekali, kau juga tidak akan menonton konser Leah selanjutnya”
            Argh, itulah ultimatumnya, ‘tidak boleh nonton konser Leah’. Aku kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku diam.
Leah, idolaku akhir-akhir ini. Konsernya sangat fantastic dan aku telah berjanji akan menonton konser Leah selanjutnya. Rasanya berat sekali jika aku tidak menonton konser selanjutnya. Aku menyerah.
“Aku akan pergi ke rumah Paman Jen dan juga akan menonton konser Leah selanjutnya”, ku korbanan liburan musim panasku. Beberapa hari.
“Terima kasih, Saga!”, Ibuku memelukku sambil menebar senyum kemenangan atas ultimatumnya.
Dan disinilah aku, di rumah Paman Jen dan melihat Grandma duduk di sofanya. Grandma hanya diam. Aku juga. Suster sedang membereskan bekas makan siang Grandma dan aku di dapur. Ibuku pergi lagi untuk meeting penting. Entahlah meeting apa itu.
“Hallo, Grandma. A..apa kabar?”, rasanya aneh berbicara dengan Grandma sekarang.
“Kitty? Kemarilah kucing manis..berbulu putih”, jawab Grandma seolah barusan aku mengeong padanya.
Aku duduk di sampingya. Memandangi keriput di setiap jari-jarinya.
“Kemana saja Kitty? Apa kau ingin mencari batu bersinar di pantai?”
“Tidak Grandma, aku hanya sebentar disini”, jawabku sambil menatap matanya yang terselimuti keriput.
“Oooh.. sayang sekali. Kalau begitu ayo kita mencarinya sekarang”  
Grandma mencoba untuk bangun dari sofanya dengan susah payah. Seolah dia tidak lagi punya tenaga utuk menggerakan tulangnya. Tapi dia berhasil dan berjalan ke arah pintu.
“Grandma mau kemana?” tanyaku.
“Ayo Kitty kita ke pantai mencari batu bersinar!”, ucapnya seolah olah dia sedang bermain dengan kucingnya  yang sudah mati.
Grandma keluar rumah.
“Susteeeer!”, teriakku memanggil. Tapi Suster tidak keluar dari dapur. Argh, Grandma sudah mulai jauh berjalan. Cepat juga dia berjalan untuk orang seumurannya. Lebih baik aku mengikutnya dari belakang sebelum Grandma menghilang.
Sesampainya di pantai, pantainya sangat ramai. Banyak orang yang berjemur. Tapi Grandma tidak menghiraukan apapun. Dia berjalan menuju ombak.
“Grandma, STOP!” Aku menahan lengan Grandma agar dia tidak berjalan lebih jauh.
“Ada apa Kitty? Batu bersinar ada di sana” jarinya menunjuk lautan.
“Tidak Grandma. Aku yakin batu bersinarnya ada di sana” ku tunjuk tempat yang jauh dari bibir pantai.
“Oke, ayo kita cari di sana” Grandma menuju tempat yang kutunjuk.
TINGNUNG. Ada chat message dari temanku. Betapa beruntungnya temanku liburan musim panasnya menyenangkan. Tidak sepertiku.
“Grandma?!” ketika aku sadar Grandma sudah tidak terlihat diantara kerumunan orang. Sial. Jika Grandma menghilang, maka ini salahku karena tidak mengawasinya.  
“Grandma!! Grandma!!” kutelusuri pantai dari ujung ke ujung. Tapi aku tidak menemukannya. Atau aku yang tidak melihatnya karena pantai sangat ramai. Kutelusuri pantai dari ujung ke ujung sekali lagi. Tapi Grandma benar-benar tidak ada. Aku mulai panik. Bagaimana jika Grandma tersesat dan lupa jalan pulang? Bagaimana jika dia lupa namanya atau cat rumahnya ketika ditanya polisi yang mencoba membantunya? Bagaimana jikaa... Argh! Aku harus kembali ke rumah dan minta bantuan suster mencari Grandma.
Sesampainya di rumah, suster tidak ada di sana. Grandma juga tidak ada. Rumah begitu sepi. Jangan-jangan suster sudah menyadari aku dan Grandma menghilang dan sedang mencari kita berdua. Aku keluar rumah dan mencari Grandma lagi. Setiap jalan, setiap gang kutelusuri. Tapi tidak ada Grandma. Aku mulai menangis sambil berjalan. Menyalahkan diriku sendiri. Berpikiran hal-hal buruk yang terjadi pada Grandma apabila dia tidak ditemukan.
Hari sudah mulai gelap. Jingga mulai menelusuri langit. Aku tidak menemukan Grandma di jalan manapun. Aku lelah. Tapi aku tidak ingin pulang. Karena jika aku pulang, dan mengatakan Grandma menghilang, itu sangat menyedihkan. Aku berjalan menuju pantai. Aku ingin diam di pantai saja dan menunggu orang rumah menemukanku.
Ketika aku sampai di pantai aku terduduk di pasir sambil tertunduk dan menangis. Ini musim panas terburuk. Grandma maafkan aku.
Ketika air mataku kering tertiup angin pantai, aku mendongak melihat senja. Tapi, ada seseorang di depan sana. Tubuh bungkuknya menghalangi pemandangan senja. Aku berjalan menuju orang bungkuk itu.
“Grand..maa..”, suaraku seperti tercekik ketika melihat orang itu ternyata Grandma. Ku peluk dia.
“Saga, aku menemukan batu bersinar. Dengarkan lah suaranya”, ucap Grandma.
Grandma menyebut namaku. Aku senang. Tapi lebih senang karena menemukannya. Batu bersinar yang bisa bersuara? Aku juga senang ia menemukan batu bersinar konyol itu.
Grandma memberiku kerang segenggaman tangan yang berkelip terkena matahari senja. Ternyata batu bersinar yang dimasud adalah kerang.
“Dengarkan lah, suaranya sangat indah.” Ucap Grandma.
Ku letakkan ‘batu bersinar’ (yang ternyata kerang) itu di telingaku. Alisku terasa naik dan bibirku melebar. Suara ini...
“Indah, bukan?” tanya Grandma padaku yang masih diam.
Aku mengangguk.
Kerang itu membuat suara ombak dan desiran angin terdengar sangat lembut. Kerang itu seperti microphone yang memperindah suara ombak dan desiran angin. Aku memejamkan mata dan menikmati suara itu. Indah. Ku buka mataku dan melihat jingga yang telah menutupi biru dan menenggelamkan senja. Senja terindah yang pernah kulihat.
“Kitty, ayo kita pulang, bawa batu bersinar itu!” Grandma menggandeng tanganku.

Kejadian itu masih sangat kuingat. Grandma, batu bersinar, warna-warna senja, dan pantai. Rasanya aku ingin mengulangnya lagi. 
Aku tertidur sebentar dan terbangun lagi. Sudah tidak terlalu terasa dingin. Kubuka mataku tapi masih gelap. Kupejamkan mataku lagi mencoba memimpikan seesuatu.

BERSAMBUNG

Jumat, 04 Juli 2014

Sebuah Cerpen : Rendezvous Pohon Asem

Rendezvous Pohon Asem
NNaomi

Raja siang baru saja bangun dari istirahat malamnya. Cahayanya langsung melaju ke setiap sudut kota kecil ini. Melewati pelan para embun yang masih bermalas-malasan di ujung rerumputan. Mengusik mata ayam-ayam kampung hingga kesal dan berkokok.
            Aku datang ke sekolah ditemani dengan cahaya yang juga baru memulai kegiatannya menyinari bumi. Setiap kali sampai di sekolah, mataku tertuju pada pohon asem setinggi 15 meter di parkiran sekolah. Cahaya menyisir setiap helai daunnya. Mengusir kabut dan dinginnya malam dari setiap rantingnya. Membangunkan burung-burung yang terlelap. Menyuguhkan pemandangan indah disetiap pagi.  Aku berjalan menujunya sambil menikmati suguhan indah itu. Udara pagi menggelitik telingaku ketika semakin dekat dengannya. Kakiku menginjak ratusan helaian daun kuningnya yang berserakan.
            “Pagi” kusapa pohon itu sambil tersenyum melihat ke atas, melihat rantingnya yang menjulur kesegala arah.
            Sekarang matahari sudah merajai langit. Satu pelajaran lagi sebelum bel pulang berbunyi. Hilang sudah konsentrasi dengan pelajaran biologi. Dari kursiku, lewat jendela, terlihat jelas pohon itu sedang kepanasan. Menggoyang-goyangkan dahannya seolah kegerahan. Siang ini bukan hanya pohon yang kulihat. Ada seorang gadis seumuranku berambut hitam sehitam batang pohon asem dengan gaun selutut bewarna kuning lembut. Gadis itu berdiri di bawah pohon itu membelakangi pandanganku. Siapa itu? Apakah tamu sekolah?
            Ketika bel pulang berbunyi, semua murid berhamburan ke luar kelas. Tempat parkir seketika ramai. Tapi tak ada yang menggubris gadis itu. Gadis itu juga diam saja seolah tak ada seorang pun di parkiran. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Ketika aku di depannya. Dia menatapku. Matanya hijau tua seperti daun pohon asem ini. Bibirnya merah muda. Gadis yang, cantik.
            “Selamat siang...” sapanya padaku. Suaranya lembut diterbangkan angin. Ia tersenyum padaku. Manis.
            “Se...”
            “Andrea! Pulang, yuk!” teriak sahabatku , Ctayra,  dari belakang.   
“Iya tunggu bentar!” teriakku membalas. Kupalingkan lagi pandanganku ke gadis itu.
            Gadis itu hilang. Pergi kemana dia? Aku celingak celinguk mencarinya.
            “Lagi nyari siapa, Dre?” Tanya Ctayra.
            “Eng..engga. Yok cabut!”
            Kenapa Ctayra tidak menyadari kalau aku sedang berbicara dengan seseorang? Yah sudahlah. Semoga aku bisa melihat gadis itu lagi besok.
            Panas sekali hari ini. aku bersepeda menelusuri jalan kecil yang diapit oleh sawah menuju rumah bersama Ctayra. Tidak ada angin sepoi-sepoi yang menggelitik dedaunan padi muda. Tidak ada kesejukan.
            “Dre, ada yang mau gue certain tentang pohon asem yang ada di sekolah kita.” Tiba-tiba Ctayra bersuara.
            “Apa, apa?” jawabku penasaran.
            “Bukan apa-apa.” Ctayra tertawa melihat reaksiku begitu. Dia turun dari sepeda, dan menuntunnya.
            “Yeeeh, serius Ra gue pengen denger.” Ku tuntun sepedaku juga.
            “Gue juga diceritain sama Pak Sem penjaga sekolah kita. Sebelum sekolah kita dibangun, pohon asem itu udah ada di situ. Rumah Pak Sem engga jauh dari sekolah jadi udah tau cerita-cerita tentang pohon asem itu.”
            “Ko jadi horror gini ceritanya.” Sahutku memotong.
            “Penduduk yang ada disitu sering naruh-naruh sesajen di bawah pohon asem itu. Mereka percaya kalau ada penghuni pohon asem yang ngejagain desa mereka. Lama kelamaan penghuni pohon asem itu ngelunjak minta sesajen yang lebih. Alias minta tumbal. Penduduk engga tau harus numbalin siapa. Berbarengan dengan itu, ada rumor tentang pelacur yang tinggal di desa. Penduduk merasa pelacur itulah yang pantas jadi tumbal. Akhirnya pelacur itu dijadiin tumbal. Engga lama, tanah itu dibeli oleh negara untuk lahan SMA. Tradisi menaruh sesajen dan tumbal pun berakhir sampai situ.”
            “Untungnya engga terjadi apa-apa yah sama sekolah kita.” Sahutku.
            “Iya. Kata Pak Sem, pohon asem itu sekarang menjaga sekolah kita.”
            “Hahaha! Lo percaya Ra?”
            “Percaya engga percaya lah. Gue cuman khawatir aja liat elu diem di pohon asem kayak tadi.”
            “Tenang, gue gapapa kok”, jawabku santai.
            Mendengar cerita Ctayra sepulang sekolah, aku jadi berpikir mungkin kah gadis itu roh pelacur yang menjadi tumbal? Tapi gadis itu sama sekali tidak menyeramkan untuk dinilai sebagai roh gentayangan.
            Sudah seminggu, gadis itu tidak lagi menampakkan wujudnya. Aku hanya bisa memandang  pohon asem. Kenapa aku merasa ingin bertemu dengannya lagi? Padahal dia bukanlah mahluk yang nyata atau lebih pantas dibilang belum pasti nyata.
            Jam lima sore. Senja mulai bergelayut di langit. Burung gagak terbang sambil bernyanyi menyambut gelapnya malam. Hari ini aku terpaksa harus pulang sore karena ada tugas  prakarya. Melelahkan. Ketika sampai di parkiran, aku melihat gadis itu! Gadis seminggu yang lalu. Gadis itu berdiri di bawah pohon asem. Dari segi mana pun, gadis itu tidak terlihat seperti mahluk halus bagiku. Aku berjalan mendekatinya.
            “Selamat sore...” sapaku. Gadis itu menoleh. Matanya terlihat lebih muda dari seminggu yang lalu. Namun tetap persis warnanya dengan daun pohon asem hari ini. dia tersenyum padaku.
            “Ada yang bisa ku bantu?” tanyaku. Dia tersenyum.
            “Temani aku menikmati senja.”, jawabnya. Matanya menerawang awan jingga yang berarak.
            “emm.. baiklah. Tapi maaf aku tidak bisa lama-lama. Aku harus pulang sebelum gelap.” Kalau gadis itu mahluk halus, bisa-bisa aku diminta menemaninya sampai malam.
            “Tidak apa-apa. Sebentar aja cukup. Nama kamu siapa?”, tanyanya padaku.
            “Andrea. Kamu?”
            “Lixctya”
            “Kalau boleh tau kamu itu mahluk apa?” tanyaku spontan.
            Lixctya mendongak ke atas memandang pohon yang perlahan terselimuti gelap. Aku ikut mendongak. Kami diam sambil mendongak cukup lama. Bodohnya aku menanyakan hal itu pada roh gentayangan.
            “Aku adalah pohon ini. Apa aku membuatmu takut? Apa aku menakutkan?” mata hijaunya berbinar memantulkan warna senja. Entah dia sedih atau senang mengakui hal itu padaku.
            “ Tidak. Hanya saja itu terdengar aneh di telingaku.” Aku bingung harus menjawabnya apa. Tapi, aku tidak takut padanya. Ada hal lain jika aku berada disampingnya.
            “Syukurlah. Jika kau takut, aku tidak punya teman untuk menunggu...” Lixctya tersenyum.
            “Kau menunggu seseorang?”
            “Iya, dan aku menunggu keindahan senja ini berakhir.”
            “Heii!!! Pulang! Pulang!” teriak Pak Sem dari belakangku.
            “Terima kasih sudah mau menemaniku.” Lixctya tersenyum kepadaku dan berjalan menuju balik pohon.
            “Sedang apa kamu, Nak?!” Tanya Pak Sem.
            “Eh, Pak Sem. Hehe. Engga ngapa-ngapain kok, Pak. Pamit dulu ya, Pak!” Jawabku dan langsung berlari menuju gerbang. Pulang lebih baik dari pada harus menjawab pertanyaan Pak Sem dengan jawaban yang tidak masuk akal. Jiwa pohon asem adalah gadis cantik bernama Lixctya? Mana ada yang percaya sebelum melihatnya langsung. Tapi, sepertinya tidak ada yang bisa melihat Lixctya.
            Sepanjang jalan aku memikirkan Lixctya. Dalam bahasa kerennya ‘rendezvous’ (dibaca randefu) atau pertemuan ku dengan Lixtcya ‘jiwa pohon asem’ terdengar tidak logis namun seperti akan ada hal yang spesial dari pertemuan tadi. Dalam bayanganku terputar adegan-adegan dalam novel-novel remaja. Ah, sudahlah, kujalani saja.
            Sejak saat itu setiap aku selesai dengan tugas prakarya, Lixctya selalu menungguku. Kami menikmati senja bersama. Membicarakan apa saja. Setiap warna jingga senja yang kami saksikan bersama, membuat kami semakin akrab.
            Siang ini, ketika burung-burung kegerahan, bau aspal menguap, dan kerikil menjadi bara, hanya 1, 2 siswa yang ada di parkiran. Lixctya berdiri di bawah pohon asem dengan gaun kuning pastelnya. Seperti biasa, dia cantik. Aku menghampirinya.
            “Hai!” sapaku.
            “Selamat siang” jawabnya dengan senyum.
            “Ketika cuaca panas apakah pohon merasa terbakar?” tanyaku penasaran.
            “Sedikit, pada bagian atas daun saja karena air menguap begitu cepat.”
            “Berarti aku harus menyirammu?”
            “Hahaha, tidak juga. Aku tidak akan dehidrasi semudah itu”
            “Benar juga. Kau kan cewe besar! Haha”
            “Pppfff” Lixctya terlihat sebal ketika aku menggodanya. Menggemaskan sekali mimik mukanya.
            “Jangan marah  dong... nanti cantiknya hilang” kuacak-acak rambutnya. Hangat. Rambutnya hangat seperti sedang terjemur matahari.
            “Jangan acak-acak rambutku, Dre!” gerutunya sebal.
            “Hahaha, iya,iya. Ko rambutmu hangat?” tanyaku.
            “Emmm, tubuhku kan bagian dari pohon. Kau ingat?” dia merapihkan rambutnya yang berantakan.
            “Oh iya, Kau kan manusia pohon. Habisnya kau mirip sekali dengan manusia. Haha” kupencet hidungnya dan berlari.
            “hiiiih!” Lixctya kesal dan mengejarku.
            Kami kejar-kejaran mengitar pohon sambil tertawa-tawa layaknya bocah berumur lima.
            “Andrea! Lo ngapain? Joging sambil ngelawak?”, Ctayra menghentikanku.
            “Hah? kaga. Gue lagi kejar-kejaran sama anak nakal!” jawabku asal.
            “Anak nakal? Mana? Lo ngelindur?” Ctayra kebingungan.
            “Oh iya gue belum ngenalin elo sama Lixctya. Ra ini Lixctya, dia pohon asem yang berubah jadi manusia.”
            “Dre, lo ngomong apa sih? Yang lo tunjuk itu pohon bukan manusia. Udah deh! Merinding gue” Ctayra bingung setengah mati.
            “Ra, dengerin gue. Mungkin lo engga bisa liat sosok dia, tapi dia bener-bener nyata”
            “Maksud lo dia hantu dan lo paranormalnya?”
            “Bukan, Ra. Wujud dia manusia tapi dia pohon. Coba lo salaman sama dia.”
            Kugandengkan tangan Lixctya dan Ctayra.
            “Lo bisa ngerasain tangannya engga? Bisa kan?” tanyaku.
            “Iya gue bisa ngerasain tangan dia, alias batang pohon. gue salaman sama pohon asem, Dre!”
            “Yeh, bukan, Ra. Sini tangan lo.” Aku arahkan tangan Ctayra ke rambut Lixctya.
            “Hangat kan? ini rambut Lixctya, Ra.” Kuyakinkan Ctayra agar percaya.
            “Dre! Stop! Lo ngenalin gue sama pohon asem! Di sini engga ada siapa-siapa. itu cuman hayalan lo.”
            “Hayalan? Bukannya lo tau gue engga suka ngayal?! Kalau ini engga nyata kenapa gue bilang ke lo? Lixctya emang bener-bener nyata.”
            “Kalau lo engga ngayal berarti lo gila” Ctayra pergi. Mungin karena bingung, tidak percaya, atau ketakutan. Entahlah. Lixctya tampak prihatin padaku.
            “Maaf, aku engga bisa bantu ngeyakinin dia kalau aku ada” ucapnya pelan.
            “Engga kok, gapapa. Itu bukan salah kamu” jawabku.
            “Aku tahu, dia sahabatmu”
            “Sahabat sejak kecil”, tambahku.
            “Tapi kenapa dia engga percaya padamu soal keberadaanku?”
            “Entahlah. Mungkin dia bingung atau emang engga ngerti”
            “Aku mau jadi orang yang ngerti kamu, yang ada buat kamu. Jadi tempat curahan hati kamu. jadi orang pertama yang percaya sama kamu, walaupun itu hal yang tidak masuk akal.”
            Aku terkejut Lixctya berbicara seperti itu. Sekarang matanya  berbinar indah. Rambutnya tersisir angin lembut. Lixctya seperti malaikat di mataku. Ketika menyadarinya aku merasakan jantungku berdegup kencang. Mukaku terasa panas. Bibirku tidak bisa menahan senyum. Ada kebahagiaan yang meluap-luap di dada. Kata ilmuan, ini gejala jatuh cinta. Aku jatuh cinta padanya.
            “Andrea?”, Panggil Lixctya.
            Kuselami mata hijaunya itu. Kucium dia dengan lembut. Dengan perlahan. Lixctya menyambut ciumanku. Raja siang di atas sana, aspal yang membara, angin yang lembut memperhatikan kami dengan cemburu.
            Siang itu di parkiran yang kosong. Kami tenggelam dalam cinta. Cinta dua alam. Cinta yang tidak dimengerti oleh siapapun selain kami. Cinta yang tidak terdefinisi. Tidak bisa dianalisis. Hanya kami yang tau. Hanya Lixctya dan aku yang tau.
            Sudah seminggu sejak kejadian itu. Seperti biasa aku hendak menemui Lixctya saat istirahat. Tapi, Ctayra menghentikanku.
            “Ndre, sekarang gue tau lo sakit apa!”
            “Cukup, Ra. Gue baik-baik aja.”
            “Lo sakit OBJECTOPHILIA! Sadar Ndre, sadar!”
            Aku diam saja mencoba untuk tidak terkejut. Aku menyadari kalau ini gejala-gejala objectophilia jika Lixctya hanya khayalanku. Tapi, aku yakin, Lixctya benar-benar nyata.
            “Itu.. bukan urusanmu”, jawabku sambil melangkah pergi.
***
            Sebulan kemudian, ditemukan seorang siswa tewas tergantung di dahan pohon asem. Belum diketahui mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Hanya ada ukiran di batang pohon asem—Lixtya & Andrea.

LA FIN

Note    : Penderita Objectophilia memiliki kecintaan yang berlebihan terhadap suatu benda. Penderita tidak lagi menganggapnya sebagai benda mati, tetapi menjadi sosok yang bisa disayangi.