Rendezvous
Pohon Asem
NNaomi
NNaomi
Raja
siang baru saja bangun dari istirahat malamnya. Cahayanya langsung melaju ke setiap
sudut kota kecil ini. Melewati pelan para embun yang masih bermalas-malasan di
ujung rerumputan. Mengusik mata ayam-ayam kampung hingga kesal dan berkokok.
Aku datang ke sekolah ditemani
dengan cahaya yang juga baru memulai kegiatannya menyinari bumi. Setiap kali
sampai di sekolah, mataku tertuju pada pohon asem setinggi 15 meter di parkiran
sekolah. Cahaya menyisir setiap helai daunnya. Mengusir kabut dan dinginnya
malam dari setiap rantingnya. Membangunkan burung-burung yang terlelap. Menyuguhkan
pemandangan indah disetiap pagi. Aku
berjalan menujunya sambil menikmati suguhan indah itu. Udara pagi menggelitik
telingaku ketika semakin dekat dengannya. Kakiku menginjak ratusan helaian daun
kuningnya yang berserakan.
“Pagi” kusapa pohon itu sambil
tersenyum melihat ke atas, melihat rantingnya yang menjulur kesegala arah.
Sekarang matahari sudah merajai
langit. Satu pelajaran lagi sebelum bel pulang berbunyi. Hilang sudah
konsentrasi dengan pelajaran biologi. Dari kursiku, lewat jendela, terlihat
jelas pohon itu sedang kepanasan. Menggoyang-goyangkan dahannya seolah
kegerahan. Siang ini bukan hanya pohon yang kulihat. Ada seorang gadis
seumuranku berambut hitam sehitam batang pohon asem dengan gaun selutut bewarna
kuning lembut. Gadis itu berdiri di bawah pohon itu membelakangi pandanganku.
Siapa itu? Apakah tamu sekolah?
Ketika bel pulang berbunyi, semua
murid berhamburan ke luar kelas. Tempat parkir seketika ramai. Tapi tak ada
yang menggubris gadis itu. Gadis itu juga diam saja seolah tak ada seorang pun
di parkiran. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Ketika aku di depannya. Dia
menatapku. Matanya hijau tua seperti daun pohon asem ini. Bibirnya merah muda.
Gadis yang, cantik.
“Selamat siang...” sapanya padaku.
Suaranya lembut diterbangkan angin. Ia tersenyum padaku. Manis.
“Se...”
“Andrea! Pulang, yuk!” teriak sahabatku
, Ctayra, dari belakang.
“Iya
tunggu bentar!” teriakku membalas. Kupalingkan lagi pandanganku ke gadis itu.
Gadis itu hilang. Pergi kemana dia?
Aku celingak celinguk mencarinya.
“Lagi nyari siapa, Dre?” Tanya
Ctayra.
“Eng..engga. Yok cabut!”
Kenapa Ctayra tidak menyadari kalau
aku sedang berbicara dengan seseorang? Yah sudahlah. Semoga aku bisa melihat
gadis itu lagi besok.
Panas sekali hari ini. aku bersepeda
menelusuri jalan kecil yang diapit oleh sawah menuju rumah bersama Ctayra.
Tidak ada angin sepoi-sepoi yang menggelitik dedaunan padi muda. Tidak ada
kesejukan.
“Dre, ada yang mau gue certain
tentang pohon asem yang ada di sekolah kita.” Tiba-tiba Ctayra bersuara.
“Apa, apa?” jawabku penasaran.
“Bukan apa-apa.” Ctayra tertawa
melihat reaksiku begitu. Dia turun dari sepeda, dan menuntunnya.
“Yeeeh, serius Ra gue pengen
denger.” Ku tuntun sepedaku juga.
“Gue juga diceritain sama Pak Sem
penjaga sekolah kita. Sebelum sekolah kita dibangun, pohon asem itu udah ada di
situ. Rumah Pak Sem engga jauh dari sekolah jadi udah tau cerita-cerita tentang
pohon asem itu.”
“Ko jadi horror gini ceritanya.”
Sahutku memotong.
“Penduduk yang ada disitu sering
naruh-naruh sesajen di bawah pohon asem itu. Mereka percaya kalau ada penghuni
pohon asem yang ngejagain desa mereka. Lama kelamaan penghuni pohon asem itu
ngelunjak minta sesajen yang lebih. Alias minta tumbal. Penduduk engga tau
harus numbalin siapa. Berbarengan dengan itu, ada rumor tentang pelacur yang
tinggal di desa. Penduduk merasa pelacur itulah yang pantas jadi tumbal.
Akhirnya pelacur itu dijadiin tumbal. Engga lama, tanah itu dibeli oleh negara
untuk lahan SMA. Tradisi menaruh sesajen dan tumbal pun berakhir sampai situ.”
“Untungnya engga terjadi apa-apa yah
sama sekolah kita.” Sahutku.
“Iya. Kata Pak Sem, pohon asem itu
sekarang menjaga sekolah kita.”
“Hahaha! Lo percaya Ra?”
“Percaya engga percaya lah. Gue
cuman khawatir aja liat elu diem di pohon asem kayak tadi.”
“Tenang, gue gapapa kok”, jawabku
santai.
Mendengar cerita Ctayra sepulang
sekolah, aku jadi berpikir mungkin kah gadis itu roh pelacur yang menjadi
tumbal? Tapi gadis itu sama sekali tidak menyeramkan untuk dinilai sebagai roh
gentayangan.
Sudah seminggu, gadis itu tidak lagi
menampakkan wujudnya. Aku hanya bisa memandang pohon asem. Kenapa aku merasa ingin bertemu
dengannya lagi? Padahal dia bukanlah mahluk yang nyata atau lebih pantas
dibilang belum pasti nyata.
Jam lima sore. Senja mulai
bergelayut di langit. Burung gagak terbang sambil bernyanyi menyambut gelapnya
malam. Hari ini aku terpaksa harus pulang sore karena ada tugas prakarya. Melelahkan. Ketika sampai di parkiran,
aku melihat gadis itu! Gadis seminggu yang lalu. Gadis itu berdiri di bawah
pohon asem. Dari segi mana pun, gadis itu tidak terlihat seperti mahluk halus
bagiku. Aku berjalan mendekatinya.
“Selamat sore...” sapaku. Gadis itu
menoleh. Matanya terlihat lebih muda dari seminggu yang lalu. Namun tetap
persis warnanya dengan daun pohon asem hari ini. dia tersenyum padaku.
“Ada yang bisa ku bantu?” tanyaku. Dia
tersenyum.
“Temani aku menikmati senja.”,
jawabnya. Matanya menerawang awan jingga yang berarak.
“emm.. baiklah. Tapi maaf aku tidak
bisa lama-lama. Aku harus pulang sebelum gelap.” Kalau gadis itu mahluk halus,
bisa-bisa aku diminta menemaninya sampai malam.
“Tidak apa-apa. Sebentar aja cukup.
Nama kamu siapa?”, tanyanya padaku.
“Andrea. Kamu?”
“Lixctya”
“Kalau boleh tau kamu itu mahluk
apa?” tanyaku spontan.
Lixctya mendongak ke atas memandang
pohon yang perlahan terselimuti gelap. Aku ikut mendongak. Kami diam sambil
mendongak cukup lama. Bodohnya aku menanyakan hal itu pada roh gentayangan.
“Aku adalah pohon ini. Apa aku
membuatmu takut? Apa aku menakutkan?” mata hijaunya berbinar memantulkan warna
senja. Entah dia sedih atau senang mengakui hal itu padaku.
“ Tidak. Hanya saja itu terdengar
aneh di telingaku.” Aku bingung harus menjawabnya apa. Tapi, aku tidak takut
padanya. Ada hal lain jika aku berada disampingnya.
“Syukurlah. Jika kau takut, aku
tidak punya teman untuk menunggu...” Lixctya tersenyum.
“Kau menunggu seseorang?”
“Iya, dan aku menunggu keindahan
senja ini berakhir.”
“Heii!!! Pulang! Pulang!” teriak Pak
Sem dari belakangku.
“Terima kasih sudah mau menemaniku.”
Lixctya tersenyum kepadaku dan berjalan menuju balik pohon.
“Sedang apa kamu, Nak?!” Tanya Pak
Sem.
“Eh, Pak Sem. Hehe. Engga
ngapa-ngapain kok, Pak. Pamit dulu ya, Pak!” Jawabku dan langsung berlari
menuju gerbang. Pulang lebih baik dari pada harus menjawab pertanyaan Pak Sem
dengan jawaban yang tidak masuk akal. Jiwa pohon asem adalah gadis cantik
bernama Lixctya? Mana ada yang percaya sebelum melihatnya langsung. Tapi, sepertinya
tidak ada yang bisa melihat Lixctya.
Sepanjang jalan aku memikirkan
Lixctya. Dalam bahasa kerennya ‘rendezvous’ (dibaca randefu) atau pertemuan ku
dengan Lixtcya ‘jiwa pohon asem’ terdengar tidak logis namun seperti akan ada
hal yang spesial dari pertemuan tadi. Dalam bayanganku terputar adegan-adegan dalam
novel-novel remaja. Ah, sudahlah, kujalani saja.
Sejak saat itu setiap aku selesai
dengan tugas prakarya, Lixctya selalu menungguku. Kami menikmati senja bersama.
Membicarakan apa saja. Setiap warna jingga senja yang kami saksikan bersama,
membuat kami semakin akrab.
Siang ini, ketika burung-burung kegerahan,
bau aspal menguap, dan kerikil menjadi bara, hanya 1, 2 siswa yang ada di
parkiran. Lixctya berdiri di bawah pohon asem dengan gaun kuning pastelnya.
Seperti biasa, dia cantik. Aku menghampirinya.
“Hai!” sapaku.
“Selamat siang” jawabnya dengan senyum.
“Ketika cuaca panas apakah pohon
merasa terbakar?” tanyaku penasaran.
“Sedikit, pada bagian atas daun saja
karena air menguap begitu cepat.”
“Berarti aku harus menyirammu?”
“Hahaha, tidak juga. Aku tidak akan
dehidrasi semudah itu”
“Benar juga. Kau kan cewe besar!
Haha”
“Pppfff” Lixctya terlihat sebal
ketika aku menggodanya. Menggemaskan sekali mimik mukanya.
“Jangan marah dong... nanti cantiknya hilang” kuacak-acak
rambutnya. Hangat. Rambutnya hangat seperti sedang terjemur matahari.
“Jangan acak-acak rambutku, Dre!”
gerutunya sebal.
“Hahaha, iya,iya. Ko rambutmu
hangat?” tanyaku.
“Emmm, tubuhku kan bagian dari
pohon. Kau ingat?” dia merapihkan rambutnya yang berantakan.
“Oh iya, Kau kan manusia pohon.
Habisnya kau mirip sekali dengan manusia. Haha” kupencet hidungnya dan berlari.
“hiiiih!” Lixctya kesal dan
mengejarku.
Kami kejar-kejaran mengitar pohon
sambil tertawa-tawa layaknya bocah berumur lima.
“Andrea! Lo ngapain? Joging sambil
ngelawak?”, Ctayra menghentikanku.
“Hah? kaga. Gue lagi kejar-kejaran
sama anak nakal!” jawabku asal.
“Anak nakal? Mana? Lo ngelindur?” Ctayra
kebingungan.
“Oh iya gue belum ngenalin elo sama
Lixctya. Ra ini Lixctya, dia pohon asem yang berubah jadi manusia.”
“Dre, lo ngomong apa sih? Yang lo
tunjuk itu pohon bukan manusia. Udah deh! Merinding gue” Ctayra bingung
setengah mati.
“Ra, dengerin gue. Mungkin lo engga
bisa liat sosok dia, tapi dia bener-bener nyata”
“Maksud lo dia hantu dan lo
paranormalnya?”
“Bukan, Ra. Wujud dia manusia tapi
dia pohon. Coba lo salaman sama dia.”
Kugandengkan tangan Lixctya dan Ctayra.
“Lo bisa ngerasain tangannya engga?
Bisa kan?” tanyaku.
“Iya gue bisa ngerasain tangan dia,
alias batang pohon. gue salaman sama pohon asem, Dre!”
“Yeh, bukan, Ra. Sini tangan lo.”
Aku arahkan tangan Ctayra ke rambut Lixctya.
“Hangat kan? ini rambut Lixctya, Ra.”
Kuyakinkan Ctayra agar percaya.
“Dre! Stop! Lo ngenalin gue sama
pohon asem! Di sini engga ada siapa-siapa. itu cuman hayalan lo.”
“Hayalan? Bukannya lo tau gue engga suka
ngayal?! Kalau ini engga nyata kenapa gue bilang ke lo? Lixctya emang
bener-bener nyata.”
“Kalau lo engga ngayal berarti lo
gila” Ctayra pergi. Mungin karena bingung, tidak percaya, atau ketakutan. Entahlah.
Lixctya tampak prihatin padaku.
“Maaf, aku engga bisa bantu
ngeyakinin dia kalau aku ada” ucapnya pelan.
“Engga kok, gapapa. Itu bukan salah
kamu” jawabku.
“Aku tahu, dia sahabatmu”
“Sahabat sejak kecil”, tambahku.
“Tapi kenapa dia engga percaya
padamu soal keberadaanku?”
“Entahlah. Mungkin dia bingung atau
emang engga ngerti”
“Aku mau jadi orang yang ngerti
kamu, yang ada buat kamu. Jadi tempat curahan hati kamu. jadi orang pertama
yang percaya sama kamu, walaupun itu hal yang tidak masuk akal.”
Aku terkejut Lixctya berbicara
seperti itu. Sekarang matanya berbinar
indah. Rambutnya tersisir angin lembut. Lixctya seperti malaikat di mataku.
Ketika menyadarinya aku merasakan jantungku berdegup kencang. Mukaku terasa
panas. Bibirku tidak bisa menahan senyum. Ada kebahagiaan yang meluap-luap di
dada. Kata ilmuan, ini gejala jatuh cinta. Aku jatuh cinta padanya.
“Andrea?”, Panggil Lixctya.
Kuselami mata hijaunya itu. Kucium
dia dengan lembut. Dengan perlahan. Lixctya menyambut ciumanku. Raja siang di
atas sana, aspal yang membara, angin yang lembut memperhatikan kami dengan cemburu.
Siang itu di parkiran yang kosong.
Kami tenggelam dalam cinta. Cinta dua alam. Cinta yang tidak dimengerti oleh
siapapun selain kami. Cinta yang tidak terdefinisi. Tidak bisa dianalisis.
Hanya kami yang tau. Hanya Lixctya dan aku yang tau.
Sudah seminggu sejak kejadian itu.
Seperti biasa aku hendak menemui Lixctya saat istirahat. Tapi, Ctayra
menghentikanku.
“Ndre, sekarang gue tau lo sakit
apa!”
“Cukup, Ra. Gue baik-baik aja.”
“Lo sakit OBJECTOPHILIA! Sadar Ndre,
sadar!”
Aku diam saja mencoba untuk tidak
terkejut. Aku menyadari kalau ini gejala-gejala objectophilia jika Lixctya
hanya khayalanku. Tapi, aku yakin, Lixctya benar-benar nyata.
“Itu.. bukan urusanmu”, jawabku
sambil melangkah pergi.
***
Sebulan kemudian, ditemukan seorang
siswa tewas tergantung di dahan pohon asem. Belum diketahui mengapa dan
bagaimana hal itu bisa terjadi. Hanya ada ukiran di batang pohon asem—Lixtya
& Andrea.
LA FIN
Note : Penderita Objectophilia memiliki kecintaan
yang berlebihan terhadap suatu benda. Penderita tidak lagi menganggapnya
sebagai benda mati, tetapi menjadi sosok yang bisa disayangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.