ICHI.
Dia
pecinta birunya langit. Mata coklatnya selalu berbinar ketika memandang langit
biru. Dia akan selalu tersenyum melihat biru. Biru air laut, biru sampul buku,
biru baju, biru obat flu, hingga biru botol minuman itu. Bayangan biru yang
berada di matanya, secepat kilat diteruskan ke dalam hatinya. Sehingga hatinya
begitu tenang ketika melihat biru.
Sore
itu, ia tidak melihat biru di atas kepalanya. Awan hitam menelan warna yang
meneduhkan hatinya. Ia menunggu angkutan umum di halte bus. Sendirian.
Serbuan
air semakin deras saja, namun tidak ada angkutan umum yang bisa
menyelamatkannya dari basah dan kedingingan. Hanya atap halte bus karatan yang
melindungi rambut hitam nan ikal miliknya.
Tiba-tiba
seorang laki-laki dengan payung biru berlari menuju halte bus. Payung biru itu
tidak sengaja menyipratkan air hujan ke lengan bajunya.
“Eh,
sorry” laki-laki itu meminta maaf soal payungnya yang mengganggu orang lain.
“eh, gapapa kok” Jawab Ichi sambil tersenyum melihat warna payung laki-laki itu.
Mereka
tidak saling mengenal. Namun keduanya merasakan hal yang sama. Ingin
berkenalan.
“Gara-gara
sopir angkot demo, jadi harus basah-basahan kaya gini, nyusahin orang aja!” Laki-laki itu menggerutu sendiri sambil menggigil kedinginan.
“Eeehh?!
Sopir angkot demo? Pantesan aja 30 menit ditungguin engga dateng-dateng.” Ichi
menarik nafas dan memutuskan untuk menerjang hujan. Ia memprediksi hujan tidak
akan berhenti hingga surya terbenam. Sekujur tubuhnya tanpa ampun dikeroyok air
hujan dari langit. Dari kejauhan terlihat laki-laki itu memperhatikan Ichi menjauh.
Terdengar
samar suara langkah kaki yang memecah genangan air hujan dengan ritme cepat.
Laki-laki itu mengejar Ichi, kemudian memayunginya dari belakang.
Ichi
merasakan pipinya tidak lagi ditampari air hujan. Wajah orientalnya mendongak
ke atas. Ia melihat biru melindunginya. Payung biru milik laki-laki yang tadi
berdiri bersamanya di halte bus.
“Gue
engga keberatan minjemin payung ini ke elo, karena sebentar lagi temen gue
dateng.” Suara laki-laki itu bergetar kedinginan.
“Eh?
Engga... engga usah...” Ichi menggeleng sambil menjauh dari laki-laki itu.
Tangan
kuning langsat laki-laki itu menyentuh tangan Ichi untuk yang pertama kalinya.
Memberikan payung biru ke genggaman Ichi. Lalu pergi kembali ke halte bus. Ichi
bisa merasakan tangan laki-laki itu sedingin es.
“Tunggu!
Balikinnya gimana?” Ichi berteriak.
“Ambil
HP lu. Nama gue Aoga. Catet ya nomer HP gue. 08522211***.” Sahut laki-laki itu
dari kejauhan. Angin menerbangkan suara Aoga yang berat.
Ichi
tersenyum sambil menggenggam HP-nya yang basah, memandangi punggung Aoga yang
pergi menjauh.
Sejak
saat itu, hubungan mereka seperti senja yang mengendap perlahan-lahan di
permukaan sungai, sehingga tampak air hijau itu berangsur-angsur tercampuri
warna oranye memantulakan cahaya bundar lalu koyak menabrak batu besar
menimbulkan suara air nan syahdu. Indah dan tenang.
***
Semak
belukar memori di dalam otak Ichi, masih menyimpan kenangan indah bersama Aoga di bukit belakang sekolah.
Ketika
langit bersih tanpa awan. Angin lembut membelai setiap helai rambut dan rumput
hijau. Menimbulkan ketenangan sanubari tak terdefinisi. Untuk ke dua kalinya,
Aoga menggenggam tangan lembut Ichi.
Ichi
salting. Dirinya bingung mengapa tiba-tiba Aoga
menggenggam tangannya lembut. Dirinya juga tidak mengerti mengapa jantungnya
berdetak sangat kencang, mendesak pernafasan dan pikiran.
Lama
Aoga menggenggam tangan Ichi sambil memandang langit dalam diam. Ichi diam saja. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Tiba-tiba
langit bersih itu, tergores oleh asap pesawat yang melintas. Lurus, putih
menggumpal. Begitulah langit ternodai.
Aoga
mempererat genggaman tangannya dan memberanikan diri menoleh ke samping, melihat
helaian rambut hitam Ichi yang diterpa angin, begitu menawan. Ichi menyadarinya
dan menatap sepasang mata hitam yang meneduhkan hatinya itu.
“Cintai aku lebih dari biru langit, dan
biru-biru lainnya, karena aku mencintai satu.” Suara Aoga terdengar lembut
membelai gendang telinga Ichi yang terpaku. (dalam
bahasa Jepang, Ichi bermakna satu)
Ketika
itu, Ichi merasa diksinya menguap begitu saja. Rahangnya kaku tak dapat
mengucap sebuah kata. Namun matanya terlihat berbinar bahagia. Ichi hanya
menggenggam erat tangan Aoga, tanda setuju.
Sudah
10 menit mereka duduk beralaskan rumput, memandangi langit. Ichi masih berusaha
mengucapkan satu kalimat.
“Aku
mencintai biru sungai yang berada di sampingku, yang menggenggam tanganku.
Walaupun sungai tak berwarna biru.” Akhirnya Ichi dapat mengatakan kalimat itu.
(dalam bahasa Jepang, Aoga bermakna biru
sungai)
Aoga
tertawa mendengar perkataan Ichi.
Sore
itu, mereka habiskan dengan menikmati senja di bukit belakang sekolah.
***
APRIL
Rumput-rumput
di bukit belakang sekolah dengan bangga memamerkan bunga-bunga putih kecilnya,
sambil menari-nari bersama hembusan angin siang hari.
Hari ini Ichi berulang tahun ke-17.
Tahun-tahun yang lalu, Ichi menghabiskan waktu dengan Aoga di bukit belakang
sekolah. Menikmati tarian reremputan, suara burung yang bersahut-sahutan, dan
pada akhirnya, menjadi saksi surya ditelan ufuk barat.
Tahun ini senja memantulkan warna
jingga ke dalam kornea yang tak bercahaya.
Ichi berguman dalam hati.
Apa yang membuat dirimu mendekatiku
saat itu? Kau tau? Aku bahagia sekali bertemu denganmu.
Tatapan itu, rambut hitam itu, telapak tangan itu, sangat erat tertancap tak
terlepaskan di belukar neutron otak ini. Mengapa roda kebahagian berputar
terbalik melawan hukum gaya gesek milik Newton? Semua kenangan itu berubah
menjadi kenangan yang menyakitkan.
Namun walaupun begitu aku tak pernah
menyesali berpayung bersamamu, bergandengan tangan denganmu, bertatapan
denganmu....dan... bertemu denganmu. Aku tak ingin melupakan semua itu walaupun
menyakitkan. Aku hanya ingin melupakan kata-kata yang kau ucapkan itu. Suaramu
lembut, nada bicaramu tenang, kata-katamu pun sederhana, namun mememiliki makna
yang menyayat hati, mencemari peredaran darah, dan melubangi hati ini.
Lepaskan aku dari serpihan kenanganmu.
Dari bayangan senyum manismu yang menghalangi laju cahaya ke dalam kornea ku.
Aku
tak perlu fatamorgana. Aku tak perlu cinta yang tidak membahagiakan. Aku tak
butuh ilusi cintamu. Aku hanya tidak bisa melupakanmu.
Kau mozaik biru yang indah namun
tidak sempurna membahagiakan aku.
Air mata Ichi menutup senja ke-3
ulang tahunnya tanpa Aoga. Sudah 3 tahun mozaik birunya pergi
entah kemana.
Selesai