Jumat, 12 Juli 2013

Mozaik Biru (Sebuah Cerpen Karya N.Naomi)




ICHI.
Dia pecinta birunya langit. Mata coklatnya selalu berbinar ketika memandang langit biru. Dia akan selalu tersenyum melihat biru. Biru air laut, biru sampul buku, biru baju, biru obat flu, hingga biru botol minuman itu. Bayangan biru yang berada di matanya, secepat kilat diteruskan ke dalam hatinya. Sehingga hatinya begitu tenang ketika melihat biru.
Sore itu, ia tidak melihat biru di atas kepalanya. Awan hitam menelan warna yang meneduhkan hatinya. Ia menunggu angkutan umum di halte bus. Sendirian.
Serbuan air semakin deras saja, namun tidak ada angkutan umum yang bisa menyelamatkannya dari basah dan kedingingan. Hanya atap halte bus karatan yang melindungi rambut hitam nan ikal miliknya.
Tiba-tiba seorang laki-laki dengan payung biru berlari menuju halte bus. Payung biru itu tidak sengaja menyipratkan air hujan ke lengan bajunya.
“Eh, sorry” laki-laki itu meminta maaf soal payungnya yang mengganggu orang lain.
“eh, gapapa kok” Jawab Ichi sambil tersenyum melihat warna payung laki-laki itu.
Mereka tidak saling mengenal. Namun keduanya merasakan hal yang sama. Ingin berkenalan.
“Gara-gara sopir angkot demo, jadi harus basah-basahan kaya gini, nyusahin orang aja!” Laki-laki itu menggerutu sendiri sambil menggigil kedinginan.
“Eeehh?! Sopir angkot demo? Pantesan aja 30 menit ditungguin engga dateng-dateng.” Ichi menarik nafas dan memutuskan untuk menerjang hujan. Ia memprediksi hujan tidak akan berhenti hingga surya terbenam. Sekujur tubuhnya tanpa ampun dikeroyok air hujan dari langit. Dari kejauhan terlihat laki-laki itu memperhatikan Ichi menjauh.
Terdengar samar suara langkah kaki yang memecah genangan air hujan dengan ritme cepat. Laki-laki itu mengejar Ichi, kemudian memayunginya dari belakang.
Ichi merasakan pipinya tidak lagi ditampari air hujan. Wajah orientalnya mendongak ke atas. Ia melihat biru melindunginya. Payung biru milik laki-laki yang tadi berdiri bersamanya di halte bus.
“Gue engga keberatan minjemin payung ini ke elo, karena sebentar lagi temen gue dateng.” Suara laki-laki itu bergetar kedinginan.
“Eh? Engga... engga usah...” Ichi menggeleng sambil menjauh dari laki-laki itu.
Tangan kuning langsat laki-laki itu menyentuh tangan Ichi untuk yang pertama kalinya. Memberikan payung biru ke genggaman Ichi. Lalu pergi kembali ke halte bus. Ichi bisa merasakan tangan laki-laki itu sedingin es.
“Tunggu! Balikinnya gimana?” Ichi berteriak.
“Ambil HP lu. Nama gue Aoga. Catet ya nomer HP gue. 08522211***.” Sahut laki-laki itu dari kejauhan. Angin menerbangkan suara Aoga yang berat.  
Ichi tersenyum sambil menggenggam HP-nya yang basah, memandangi punggung Aoga yang pergi menjauh.
Sejak saat itu, hubungan mereka seperti senja yang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai, sehingga tampak air hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna oranye memantulakan cahaya bundar lalu koyak menabrak batu besar menimbulkan suara air nan syahdu. Indah dan tenang.
***
Semak belukar memori di dalam otak Ichi, masih menyimpan kenangan indah bersama Aoga di bukit belakang sekolah.
Ketika langit bersih tanpa awan. Angin lembut membelai setiap helai rambut dan rumput hijau. Menimbulkan ketenangan sanubari tak terdefinisi. Untuk ke dua kalinya, Aoga menggenggam tangan lembut Ichi.
Ichi salting. Dirinya bingung mengapa tiba-tiba Aoga menggenggam tangannya lembut. Dirinya juga tidak mengerti mengapa jantungnya berdetak sangat kencang, mendesak pernafasan dan pikiran.
Lama Aoga menggenggam tangan Ichi sambil memandang langit dalam diam. Ichi diam saja. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Tiba-tiba langit bersih itu, tergores oleh asap pesawat yang melintas. Lurus, putih menggumpal. Begitulah langit ternodai.
Aoga mempererat genggaman tangannya dan memberanikan diri menoleh ke samping, melihat helaian rambut hitam Ichi yang diterpa angin, begitu menawan. Ichi menyadarinya dan menatap sepasang mata hitam yang meneduhkan hatinya itu.
 “Cintai aku lebih dari biru langit, dan biru-biru lainnya, karena aku mencintai satu.” Suara Aoga terdengar lembut membelai gendang telinga Ichi yang terpaku. (dalam bahasa Jepang, Ichi bermakna satu)
Ketika itu, Ichi merasa diksinya menguap begitu saja. Rahangnya kaku tak dapat mengucap sebuah kata. Namun matanya terlihat berbinar bahagia. Ichi hanya menggenggam erat tangan Aoga, tanda setuju.
Sudah 10 menit mereka duduk beralaskan rumput, memandangi langit. Ichi masih berusaha mengucapkan satu kalimat.
“Aku mencintai biru sungai yang berada di sampingku, yang menggenggam tanganku. Walaupun sungai tak berwarna biru.” Akhirnya Ichi dapat mengatakan kalimat itu. (dalam bahasa Jepang, Aoga bermakna biru sungai)
Aoga tertawa mendengar perkataan Ichi.
Sore itu, mereka habiskan dengan menikmati senja di bukit belakang sekolah.
***
APRIL
Rumput-rumput di bukit belakang sekolah dengan bangga memamerkan bunga-bunga putih kecilnya, sambil menari-nari bersama hembusan angin siang hari.
            Hari ini Ichi berulang tahun ke-17. Tahun-tahun yang lalu, Ichi menghabiskan waktu dengan Aoga di bukit belakang sekolah. Menikmati tarian reremputan, suara burung yang bersahut-sahutan, dan pada akhirnya, menjadi saksi surya ditelan ufuk barat.
            Tahun ini senja memantulkan warna jingga ke dalam kornea yang tak bercahaya.
            Ichi berguman dalam hati.
            Apa yang membuat dirimu mendekatiku saat itu? Kau tau? Aku bahagia sekali bertemu denganmu. Tatapan itu, rambut hitam itu, telapak tangan itu, sangat erat tertancap tak terlepaskan di belukar neutron otak ini. Mengapa roda kebahagian berputar terbalik melawan hukum gaya gesek milik Newton? Semua kenangan itu berubah menjadi kenangan yang menyakitkan.
            Namun walaupun begitu aku tak pernah menyesali berpayung bersamamu, bergandengan tangan denganmu, bertatapan denganmu....dan... bertemu denganmu. Aku tak ingin melupakan semua itu walaupun menyakitkan. Aku hanya ingin melupakan kata-kata yang kau ucapkan itu. Suaramu lembut, nada bicaramu tenang, kata-katamu pun sederhana, namun mememiliki makna yang menyayat hati, mencemari peredaran darah, dan melubangi hati ini.
            Lepaskan aku dari serpihan kenanganmu. Dari bayangan senyum manismu yang menghalangi laju cahaya ke dalam kornea ku.
Aku tak perlu fatamorgana. Aku tak perlu cinta yang tidak membahagiakan. Aku tak butuh ilusi cintamu. Aku hanya tidak bisa melupakanmu.
            Kau mozaik biru yang indah namun tidak sempurna membahagiakan aku.
            Air mata Ichi menutup senja ke-3 ulang tahunnya tanpa Aoga. Sudah 3 tahun mozaik birunya pergi entah kemana.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.