Hitam Monokrom
By : NNaomi
Awan
putih terpaksa minggat karena awan hitam mulai menguasai langit sore. Tanpa ada
perseteruan antara mereka berdua. Matahari pun enggan melarang awan hitam
mengusir paksa awan putih. Ia hanya melihat dari sudut laju cahayanya yang perlahan-lahan
mulai redup. Rerumputan saling
bergandengan tangan. Mereka berdansa sambil menyanyikan lagu kegembiraan. Lagu
syukur karena hujan akan turun. Sraak..sraak.. . Angin memandu kemana arah
melodi yang mereka ciptakan.
Detik-detik
sebelum hujan adalah momen yang selalu aku nikmati di sore hari. Orang-orang di
desa menganggap hujan sore hari adalah malapetaka. Karena cahaya langit lenyap
perlahan bukan pada waktunya. Tapi, inilah kenyataan. Hujan selalu datang di
kala senja, bergandengan dengan kegelapan. Bersama-sama menyelimuti hati
seseorang dengan kesedihan dan ketakutan. Tak ada yang datang ke desa ini untuk
menikmati keindahan senja. Jangankan orang dari luar desa, penduduk desa
sekalipun sama sekali tidak mengenal senja. Tuhan tidak pernah memperkenalkan
mereka dengan keindahan senja. Hidup mereka adalah monokrom.
Rambut
mereka berwarna putih. Orok hingga yang bau tanah, rambutnya berwarna putih. Jarang sekali diantara mereka
yang memiliki rambut bewarna hitam seluruhnya. Jika ada, mereka akan langsung
membunuhnya. Mereka menganggap rambut hitam adalah pembawa malapetaka. Mata mereka berwarna Orchid. Sebuah warna
keunguan yang syarat akan keraguan, keegoisan, dan kesedihan. Bibir mereka
bewarna merah kehitaman karena, sayur-sayuran dan buah-buahan yang mereka tanam
dan mereka makan tidak bergizi.
Aku
berbeda dengan mereka. Rambutku hitam legam tanpa celah. Mataku hitam pekat,
sepekat mata burung gagak. Bibirku merah muda. Perbedaan itu yang membuat
mereka murka padaku dan orang tuaku. Tak ada yang tahu aku telah dilahirkan. Orang
tuaku melahirkanku di sebuah rumah di tengah hutan dan selalu memangkas habis
rambut hitamku.
Aku
muak kepada semua penduduk desa. Mereka menangkap Ayah dan Ibuku di pasar,
ketika aku masih berumur 7 tahun.
“Jika
ada orang yang mendorongmu dan mengejarmu, berlarilah ke hutan. Ayah dan Ibu
akan baik-baik saja.” kata Ayahku sebelum tertangkap.
Benar
saja, tak lama kemudian, ada yang
mendorongku. Aku terjatuh. Seperti yang dikatakan Ayahku, aku bangun dan berlari
sekuat tenaga menuju hutan, kembali ke rumah. Aku tak sempat melihat Ayah dan Ibu
saat itu. Ada sekitar 5 orang yang mengejarku ke hutan. Aku sangat ketakutan.
Sambil berlari aku berharap orang-orang itu tidak dapat mengejarku. Tiba-tiba
gejolak aneh menerjang dadaku. Aku mendongak ke atas. Ranting-ranting pohon
bergerak meliuk-liuk. Aneh. Kupercepat lariku dan sampai di rumah dengan
selamat dan was-was. Tapi mereka tidak datang. Aku tidak tahu mengapa dan apa
yang dilakukan hutan pada mereka. Aku juga tidak tahu apa yang mereka lakukan
pada orang tuaku. Yang aku tahu, Ayah dan Ibu tidak pernah kembali.
Sekarang
umurku 17 tahun. Aku ingin menggunduli rambut ini seperti biasanya. Tiba-tiba
semak-semak di depanku bergoyang-goyang. Bukan karena diterpa angin dan hujan.
Serigala, pikirku. Ku tarik panahku, bersiap melepaskannya. Namun yang muncul
malah seorang laki-laki seumuranku sambil mengangkat tangan. Dia orang desa.
Rambutnya, matanya, bibirnya. Dia pasti ingin membunuhku. Tanganku tegang.
Melihatnya seperti menenggelamkan diri ke dalam ingatan yang menakutkan.
“Berhenti
di sana, atau aku akan memanahmu!” teriakku.
“Who,who,who.
Tenang aku ke sini bukan untuk menangkapmu” dia berjalan mendekatiku. Tangannya
masih terangkat. Badannya basah kuyup.
“Diam
disitu, atau panah ini akan membunuhmu!”
“Ok,ok,
kau menang. Izinkan aku menjelaskan” suaranya terbawa angin.
“Jatuhkan barang-barangmu”
Laki-laki
itu menjatuhkan pisau dan tasnya. Aku mulai berpikir dia tidak ingin
membunuhku. Tapi aku tetap was-was. Mungkin saja dia adalah umpan.
“Apa
tujuanmu datang kesini?! Darimana kau tahu tempat ini?!” teriakku.
“Aku
ingin bertemu denganmu. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku mengikutimu ketika
kau dikejar oleh 5 orang desa, dulu sekali. Waktu itu, aku sedang mencari
tumbuhan obat di hutan. Aku menemukan rumahmu tapi mereka tidak. Aku selalu
mengintip dari balik semak-semak untuk melihatmu. Aku benar-benar... penasaran,
hanya itu.”
“Apa
kau ingin membunuhku?”
“Awalnya...”
Kutarik
lagi panahku.
“Tenang-tenang,
aku belum selesai berbicara. Awalnya aku percaya kalau orang sepertimu adalah
bencana. Tapi, ketika memperhatikanmu, aku merasa kau tidak berbuat hal yang
buruk. Bahkan ketika aku tahu kau di sini, aku merasa tumbuhan obat tumbuh
subur. Mungkin kau punya kekuatan yang baik. Aku jadi penasaran. Kalau kau
ingin tahu, aku penjual tanaman herbal di desa.”
Laki-laki
ini tidak berbahaya. Kutaruh busur dan panahku.
“Kemarilah!
Siapa namamu?”, aku ajak dia duduk di sampingku.
“Eric,
Eric Seabold. Kau?”
“Aureila”
“Jadi,
kau akan memotong rambutmu atau membunuhku dengan gunting itu?”
“Haha.
Tidak, gunting ini untuk menggunduli rambutku.”
Tiba-tiba,
tangannya yang dingin membelai kepalaku dan mengambil segenggaman rambut
hitamku. Aku kaget. Eric malah mencium rambutku.
“Apa
yang kau lakukan?!”
“Aku
tidak ingin kau memotong rambut hitammu.” Nada bicaranya berubah rendah.
Tatapan matanya tiba-tiba layu.
“Me..memangnya
kenapa?” aku bingung.
Eric mendekatkan
mukanya ke telingaku. Hembusan nafasnya bisa kurasakan. Dia menghirup rambutku.
Perlahan dia berbisik, “Aku jatuh cinta pada rambutmu”.
Aku
kaget mendengarnya. Dia seperti orang tuaku yang tidak membenci rambut hitam
ini.
Sejak
saat itu, Eric tinggal denganku. Sebagai teman. Katanya, teman selalu ada untuk
diri kita. Aku mengiyakan saja.
Pagi
ini aku memetik apel bersamanya.
“Lihat
apel ini. Begitu memikat. Oh iya! Aku punya puisi untukmu.” sahut Eric dari
atas pohon apel.
Tiba-tiba
Eric turun dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Terlalu dekat. Mukaku panas
menahan malu. Dia mundur selangkah dan mulai berpuisi.
“Putri Salju terlalu bodoh. Dia terpikat
dengan merahnya apel beracun. Aku tahu. Dia terpesona. Merah itu memancarkan
ilusi kenikmatan. Manis, dan lembut. Tapi kau berbeda. kau bukanlah ilusi
semata. Kau pesona yang nyata. Membuatku jatuh cinta. Aku jatuh cinta padamu.
Apa kau juga?”
Aku
merasakan ada kebahagiaan yang tiba-tiba memenuhi hati ini. Kebahagiaan itu
membuat jantung berdetak lebih cepat. Kebahagiaan itu membuat semuanya berubah
jadi indah. Kebahagiaan itu meluap-luap. Lalu aku mengangguk sambil memeluknya.
Sejak
aku tahu Eric mencintaiku, aku merasa matahari bersinar lebih terang. Seluruh
tumbuhan dan hewan di hutan bernyanyi riang. Bunga bermekaran dimana-mana. Bulan
terasa lebih dekat. Hujan terlihat lebih indah. Tubuhku diselimuti kebahagiaan.
Jika kau tidak sedang jatuh cinta, kau akan menganggap itu berlebihan.
Suatu
hari, Eric meminta izin padaku untuk kembali berjualan obat herbal di desa. Dia
berjanji akan segera kembali. Aku menunggunya. Sudah berhari-hari, dia tak
kunjung datang. Aku mengkhawatirkannya. Aku memutuskan untuk menyamar dan pergi
ke desa untuk mencarinya. Aku tahu itu bahaya, tapi rasa cintaku membuatku
menelan ketakutanku sendiri, bulat-bulat.
Ketika
aku berjalan menelusuri hutan menuju desa, rerumputan mengisyaratkan agar aku
tidak pergi. Bunga-bunga mengisyaratkan agar aku pulang dan lebih bersabar. Burung-burung
mengisyaratkan agar aku kembali ke rumah dan beristirahat saja. Pohon-pohon
mengisyaratkan sesuatu. Tapi aku tidak mendengarnya. Aku tidak mau
mendengarkannya. Aku tak akan kembali ke rumah. Aku tak mau kehilangan orang
yang kucintai untuk yang kedua kalinya.
Ketika
aku berada di ujung hutan, kakiku terjerat sesuatu. Ketika aku berusaha
melepaskannya, aku tertarik ke atas pohon. Aku ketakutan. Aku tertangkap. Aku
tergantung di atas pohon dengan posisi kakiku di atas. Darahku turun ke bawah.
Aku meronta. Tidak ada gunanya. Aku mencoba menggapai tali yang mengikatku,
tapi tidak bisa. Aku sudah membayangkan hal terburuk yang akan terjadi pada
diriku. Mungkin aku akan dibakar, disiksa, atau dipenggal. Ketakutan
menyelemutiku. Aku menangis. Aku menyalahkan diriku sendiri karena ceroboh.
Ketika aku terisak, aku mendengar suara yang sangat tidak asing. Suara Eric!
“Lihat
apa yang telah kita dapatkan” sahutnya.
“E..Eric?
tolong aku!”
Eric
mendekatiku. Dia menciumi rambutku yang tergerai karena topiku jatuh.
“Eric
apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan aku!” aku menangis sangking takutnya, melihat
10 orang penduduk desa berdiri di belakang Eric yang bersiap menyerangku.
“Kau
seperti Putri Salju yang bodoh, Aureila. Kau telah memakan apel beracun yang
kuberikan padamu.”
“Apa
maksudmu?! Bukankah kau mencintaiku? Bukankah kita saling mencintai?! Eric
tolong jangan bercanda. Aku benar-benar takut” air mataku menetes lebih cepat
“HAHAHA!
Cinta? Kau bodoh! Asal kau tahu, aku yang menggantung Ayah dan Ibumu! Aku yang
membunuh mereka! Jadi, mana mungkin aku
mencintaimu.”
Air
mataku berhenti seketika. Hatiku tersayat. Sakit. Sakit sekali. Perih. Perih
sekali. Tak percaya apa yang telah kudengar. Aku lemas. Kepalaku pusing.
Telingaku berdengung.
“Saat
itu aku hanya melihat sesosok gadis cantik seumuran denganku berlari ketakutan.
Aku mengikutimu dan melihat kau masuk rumah. aku bisa mengetahui keberadaanmu
karena saat itu aku tidak ingin membunuhmu. Hutan ini menyembunyikanmu dari
orang-orang yang ingin membunuhmu, kecuali aku.”
Eric
membelai pipiku.
“Ketika
aku kembali ke desa. Aku melihat orang tua mu diikat. Aku mengingat mata Ayahmu.
Mata perampok yang merampok rumahku dan membunuh orang tuaku di depan mataku
sendiri ketika aku masih kecil! Aku menceritakan kejadian itu pada warga desa.
Mereka marah dan menggantung orang tuamu. Bukan kah itu setimpal?”
Eric
mencium keningku. Aku tak berdaya. Kesedihan menguasaiku sepenuhnya. Aku
pasrah.
“Ketika
dewasa, aku mendengar kabar burung keberadaanmu. Semua orang mencarimu. Gadis
berambut hitam, bermata hitam sehitam mata burung gagak. Tak lain dan tak bukan
anak perampok itu. Awalnya aku tak ingin membunuhmu. Aku hanya penasaran akan
kebenaran kabar itu. Ternyata semua itu benar. Ketika aku mengintip dari
semak-semak, kau menyergapku.”
Eric
mengeluarkan pisau dari sakunya. Aku akan dibunuhnya. Aku akan dibunuh oleh
orang yang paling aku cintai di dunia ini.
“Aku
hidup bersamamu. Semakin aku mengenalmu, semakin aku membencimu. Aku mulai
menyusun rencana. Kusodorkan apel beracun padamu. Kau memakannya.”
Eric
mendekatkan bibirnya ke bibirku. Pisaunya mencium leherku. Urat nadiku akan
segera dipotong olehnya. Jatungku berdegup amat kencang. Mataku terbelalak.
Desiran aneh menerpaku.
Tiba-tiba
kesedihanku berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Kemarahan itu amat kuat
menghancurkan kenangan indahku bersama Eric. Kebencian dengan mudahnya
menghancurkan rasa cinta dalam hatiku. Sekarang kemarahan dan kebencian
menguasaiku. Aku muak dengan semuanya. Aku murka.
Tanganku
bergetar. Akar-akar pohon mencuat dari dalam tanah. Memanjang dan bergerak
menuju warga desa. Melilit leher mereka. Kebencianku mencekik mereka.
Kemarahanku menggantung mereka. Mereka tewas. Eric terkejut. Ia menjadi
ketakutan setengah mati melihatku. Ia menjauh dariku. Kakinya bergetar. Keringat
dingin membasahi tubuhnya. Kupatahkan dahan tempatku menggantung. Aku jatuh
terjerembab. Eric cepat-cepat menjauh.
“Eric
cium aku. Kumohon. aku tidak akan membunuhmu. Aku akan memaafkanmu. Eric... aku
mencintaimu. Sungguh mencintaimu. Jangan tinggalkan aku.”
Eric
semakin ketakutan. Tapi dia mendekat ke arahku. Wajahnya pucat pasi penuh
dengan keringat dingin. Aku bisa mendengar jantungnya yang berdegup kencang
ketika wajahnya semakin dekat ke wajahku. Sedikit lagi bibirku bersentuhan
dengan bibirnya. Perlahan-lahan. Aku sangat menikmati detik-detik sebelum aku
berciuman dengannya.
“Aku
telah memuntahkan apel beracun itu. Sekarang kau yang menelannya. Bodoh.”
Sebelum
bibirnya menyentuh bibirku, aku menikamnya dengan pisaunya sendiri yang ia
pegang. Akar-akar disekitarku mencuat kembali. Melilit lehernya. Mata Orchidnya
seperti ingin loncat. Badannya mengejang. Dia menangis. Beberapa detik
kemudian, tubuhnya tak lagi bergerak. Tubuhnya tidak lagi bernyawa.
Aku
berbaring di samping jasad Eric yang tak bernyawa. Aku memohon pada Tuhan. Aku
meminta pada-Nya untuk mematikan tanah desa ini. Agar warga desa tidak lagi
bisa bercocok tanam karena, tanahnya telah mati. Agar warga desa tidak lagi
bisa meminum air dari sumur mereka. Agar mereka tidak lagi bisa hidup di sini.
Sebagai gantinya, kurelakan jiwaku dan jiwa hutan ini. bukankah itu yang
namanya setimpal?
LA FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.