Kamis, 02 Januari 2014

Sebuah Cerpen: Hitam Monokrom

Hitam Monokrom
By : NNaomi
Awan putih terpaksa minggat karena awan hitam mulai menguasai langit sore. Tanpa ada perseteruan antara mereka berdua. Matahari pun enggan melarang awan hitam mengusir paksa awan putih. Ia hanya melihat dari sudut laju cahayanya yang perlahan-lahan mulai redup. Rerumputan saling bergandengan tangan. Mereka berdansa sambil menyanyikan lagu kegembiraan. Lagu syukur karena hujan akan turun. Sraak..sraak.. . Angin memandu kemana arah melodi yang mereka ciptakan.
Detik-detik sebelum hujan adalah momen yang selalu aku nikmati di sore hari. Orang-orang di desa menganggap hujan sore hari adalah malapetaka. Karena cahaya langit lenyap perlahan bukan pada waktunya. Tapi, inilah kenyataan. Hujan selalu datang di kala senja, bergandengan dengan kegelapan. Bersama-sama menyelimuti hati seseorang dengan kesedihan dan ketakutan. Tak ada yang datang ke desa ini untuk menikmati keindahan senja. Jangankan orang dari luar desa, penduduk desa sekalipun sama sekali tidak mengenal senja. Tuhan tidak pernah memperkenalkan mereka dengan keindahan senja. Hidup mereka adalah monokrom.
Rambut mereka berwarna putih. Orok hingga yang bau tanah, rambutnya  berwarna putih. Jarang sekali diantara mereka yang memiliki rambut bewarna hitam seluruhnya. Jika ada, mereka akan langsung membunuhnya. Mereka menganggap rambut hitam adalah pembawa malapetaka.  Mata mereka berwarna Orchid. Sebuah warna keunguan yang syarat akan keraguan, keegoisan, dan kesedihan. Bibir mereka bewarna merah kehitaman karena, sayur-sayuran dan buah-buahan yang mereka tanam dan mereka makan tidak bergizi.
Aku berbeda dengan mereka. Rambutku hitam legam tanpa celah. Mataku hitam pekat, sepekat mata burung gagak. Bibirku merah muda. Perbedaan itu yang membuat mereka murka padaku dan orang tuaku. Tak ada yang tahu aku telah dilahirkan. Orang tuaku melahirkanku di sebuah rumah di tengah hutan dan selalu memangkas habis rambut hitamku.
Aku muak kepada semua penduduk desa. Mereka menangkap Ayah dan Ibuku di pasar, ketika aku masih berumur 7 tahun.
“Jika ada orang yang mendorongmu dan mengejarmu, berlarilah ke hutan. Ayah dan Ibu akan baik-baik saja.” kata Ayahku sebelum tertangkap.
Benar saja, tak lama kemudian,  ada yang mendorongku. Aku terjatuh. Seperti yang dikatakan Ayahku, aku bangun dan berlari sekuat tenaga menuju hutan, kembali ke rumah. Aku tak sempat melihat Ayah dan Ibu saat itu. Ada sekitar 5 orang yang mengejarku ke hutan. Aku sangat ketakutan. Sambil berlari aku berharap orang-orang itu tidak dapat mengejarku. Tiba-tiba gejolak aneh menerjang dadaku. Aku mendongak ke atas. Ranting-ranting pohon bergerak meliuk-liuk. Aneh. Kupercepat lariku dan sampai di rumah dengan selamat dan was-was. Tapi mereka tidak datang. Aku tidak tahu mengapa dan apa yang dilakukan hutan pada mereka. Aku juga tidak tahu apa yang mereka lakukan pada orang tuaku. Yang aku tahu, Ayah dan Ibu tidak pernah kembali.
Sekarang umurku 17 tahun. Aku ingin menggunduli rambut ini seperti biasanya. Tiba-tiba semak-semak di depanku bergoyang-goyang. Bukan karena diterpa angin dan hujan. Serigala, pikirku. Ku tarik panahku, bersiap melepaskannya. Namun yang muncul malah seorang laki-laki seumuranku sambil mengangkat tangan. Dia orang desa. Rambutnya, matanya, bibirnya. Dia pasti ingin membunuhku. Tanganku tegang. Melihatnya seperti menenggelamkan diri ke dalam ingatan yang menakutkan.
“Berhenti di sana, atau aku akan memanahmu!” teriakku.
“Who,who,who. Tenang aku ke sini bukan untuk menangkapmu” dia berjalan mendekatiku. Tangannya masih terangkat. Badannya basah kuyup.
“Diam disitu, atau panah ini akan membunuhmu!”
“Ok,ok, kau menang. Izinkan aku menjelaskan” suaranya terbawa angin.
 “Jatuhkan barang-barangmu”
Laki-laki itu menjatuhkan pisau dan tasnya. Aku mulai berpikir dia tidak ingin membunuhku. Tapi aku tetap was-was. Mungkin saja dia adalah umpan.
“Apa tujuanmu datang kesini?! Darimana kau tahu tempat ini?!” teriakku.
“Aku ingin bertemu denganmu. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku mengikutimu ketika kau dikejar oleh 5 orang desa, dulu sekali. Waktu itu, aku sedang mencari tumbuhan obat di hutan. Aku menemukan rumahmu tapi mereka tidak. Aku selalu mengintip dari balik semak-semak untuk melihatmu. Aku benar-benar... penasaran, hanya itu.”
“Apa kau ingin membunuhku?”
“Awalnya...”
Kutarik lagi panahku.
“Tenang-tenang, aku belum selesai berbicara. Awalnya aku percaya kalau orang sepertimu adalah bencana. Tapi, ketika memperhatikanmu, aku merasa kau tidak berbuat hal yang buruk. Bahkan ketika aku tahu kau di sini, aku merasa tumbuhan obat tumbuh subur. Mungkin kau punya kekuatan yang baik. Aku jadi penasaran. Kalau kau ingin tahu, aku penjual tanaman herbal di desa.”
Laki-laki ini tidak berbahaya. Kutaruh busur dan panahku.
“Kemarilah! Siapa namamu?”, aku ajak dia duduk di sampingku.
“Eric, Eric Seabold. Kau?”
“Aureila”
“Jadi, kau akan memotong rambutmu atau membunuhku dengan gunting itu?”
“Haha. Tidak, gunting ini untuk menggunduli rambutku.”
Tiba-tiba, tangannya yang dingin membelai kepalaku dan mengambil segenggaman rambut hitamku. Aku kaget. Eric malah mencium rambutku.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Aku tidak ingin kau memotong rambut hitammu.” Nada bicaranya berubah rendah. Tatapan matanya tiba-tiba layu.
“Me..memangnya kenapa?” aku bingung.
Eric mendekatkan mukanya ke telingaku. Hembusan nafasnya bisa kurasakan. Dia menghirup rambutku. Perlahan dia berbisik, “Aku jatuh cinta pada rambutmu”.
Aku kaget mendengarnya. Dia seperti orang tuaku yang tidak membenci rambut hitam ini.
Sejak saat itu, Eric tinggal denganku. Sebagai teman. Katanya, teman selalu ada untuk diri kita. Aku mengiyakan saja.
Pagi ini aku memetik apel bersamanya.
“Lihat apel ini. Begitu memikat. Oh iya! Aku punya puisi untukmu.” sahut Eric dari atas pohon apel.
Tiba-tiba Eric turun dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Terlalu dekat. Mukaku panas menahan malu. Dia mundur selangkah dan mulai berpuisi.
 “Putri Salju terlalu bodoh. Dia terpikat dengan merahnya apel beracun. Aku tahu. Dia terpesona. Merah itu memancarkan ilusi kenikmatan. Manis, dan lembut. Tapi kau berbeda. kau bukanlah ilusi semata. Kau pesona yang nyata. Membuatku jatuh cinta. Aku jatuh cinta padamu. Apa kau juga?”
Aku merasakan ada kebahagiaan yang tiba-tiba memenuhi hati ini. Kebahagiaan itu membuat jantung berdetak lebih cepat. Kebahagiaan itu membuat semuanya berubah jadi indah. Kebahagiaan itu meluap-luap. Lalu aku mengangguk sambil memeluknya.
Sejak aku tahu Eric mencintaiku, aku merasa matahari bersinar lebih terang. Seluruh tumbuhan dan hewan di hutan bernyanyi riang. Bunga bermekaran dimana-mana. Bulan terasa lebih dekat. Hujan terlihat lebih indah. Tubuhku diselimuti kebahagiaan. Jika kau tidak sedang jatuh cinta, kau akan menganggap itu berlebihan.
Suatu hari, Eric meminta izin padaku untuk kembali berjualan obat herbal di desa. Dia berjanji akan segera kembali. Aku menunggunya. Sudah berhari-hari, dia tak kunjung datang. Aku mengkhawatirkannya. Aku memutuskan untuk menyamar dan pergi ke desa untuk mencarinya. Aku tahu itu bahaya, tapi rasa cintaku membuatku menelan ketakutanku sendiri, bulat-bulat.
Ketika aku berjalan menelusuri hutan menuju desa, rerumputan mengisyaratkan agar aku tidak pergi. Bunga-bunga mengisyaratkan agar aku pulang dan lebih bersabar. Burung-burung mengisyaratkan agar aku kembali ke rumah dan beristirahat saja. Pohon-pohon mengisyaratkan sesuatu. Tapi aku tidak mendengarnya. Aku tidak mau mendengarkannya. Aku tak akan kembali ke rumah. Aku tak mau kehilangan orang yang kucintai untuk yang kedua kalinya.
Ketika aku berada di ujung hutan, kakiku terjerat sesuatu. Ketika aku berusaha melepaskannya, aku tertarik ke atas pohon. Aku ketakutan. Aku tertangkap. Aku tergantung di atas pohon dengan posisi kakiku di atas. Darahku turun ke bawah. Aku meronta. Tidak ada gunanya. Aku mencoba menggapai tali yang mengikatku, tapi tidak bisa. Aku sudah membayangkan hal terburuk yang akan terjadi pada diriku. Mungkin aku akan dibakar, disiksa, atau dipenggal. Ketakutan menyelemutiku. Aku menangis. Aku menyalahkan diriku sendiri karena ceroboh. Ketika aku terisak, aku mendengar suara yang sangat tidak asing. Suara Eric!
“Lihat apa yang telah kita dapatkan” sahutnya.
“E..Eric? tolong aku!”
Eric mendekatiku. Dia menciumi rambutku yang tergerai karena topiku jatuh.
“Eric apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan aku!” aku menangis sangking takutnya, melihat 10 orang penduduk desa berdiri di belakang Eric yang bersiap menyerangku.
“Kau seperti Putri Salju yang bodoh, Aureila. Kau telah memakan apel beracun yang kuberikan padamu.”
“Apa maksudmu?! Bukankah kau mencintaiku? Bukankah kita saling mencintai?! Eric tolong jangan bercanda. Aku benar-benar takut” air  mataku menetes lebih cepat
“HAHAHA! Cinta? Kau bodoh! Asal kau tahu, aku yang menggantung Ayah dan Ibumu! Aku yang membunuh mereka! Jadi,  mana mungkin aku mencintaimu.”
Air mataku berhenti seketika. Hatiku tersayat. Sakit. Sakit sekali. Perih. Perih sekali. Tak percaya apa yang telah kudengar. Aku lemas. Kepalaku pusing. Telingaku berdengung.
“Saat itu aku hanya melihat sesosok gadis cantik seumuran denganku berlari ketakutan. Aku mengikutimu dan melihat kau masuk rumah. aku bisa mengetahui keberadaanmu karena saat itu aku tidak ingin membunuhmu. Hutan ini menyembunyikanmu dari orang-orang yang ingin membunuhmu, kecuali aku.”
Eric membelai pipiku.
“Ketika aku kembali ke desa. Aku melihat orang tua mu diikat. Aku mengingat mata Ayahmu. Mata perampok yang merampok rumahku dan membunuh orang tuaku di depan mataku sendiri ketika aku masih kecil! Aku menceritakan kejadian itu pada warga desa. Mereka marah dan menggantung orang tuamu. Bukan kah itu setimpal?”
Eric mencium keningku. Aku tak berdaya. Kesedihan menguasaiku sepenuhnya. Aku pasrah.
“Ketika dewasa, aku mendengar kabar burung keberadaanmu. Semua orang mencarimu. Gadis berambut hitam, bermata hitam sehitam mata burung gagak. Tak lain dan tak bukan anak perampok itu. Awalnya aku tak ingin membunuhmu. Aku hanya penasaran akan kebenaran kabar itu. Ternyata semua itu benar. Ketika aku mengintip dari semak-semak, kau menyergapku.”
Eric mengeluarkan pisau dari sakunya. Aku akan dibunuhnya. Aku akan dibunuh oleh orang yang paling aku cintai di dunia ini.
“Aku hidup bersamamu. Semakin aku mengenalmu, semakin aku membencimu. Aku mulai menyusun rencana. Kusodorkan apel beracun padamu. Kau memakannya.”
Eric mendekatkan bibirnya ke bibirku. Pisaunya mencium leherku. Urat nadiku akan segera dipotong olehnya. Jatungku berdegup amat kencang. Mataku terbelalak. Desiran aneh menerpaku.
Tiba-tiba kesedihanku berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Kemarahan itu amat kuat menghancurkan kenangan indahku bersama Eric. Kebencian dengan mudahnya menghancurkan rasa cinta dalam hatiku. Sekarang kemarahan dan kebencian menguasaiku. Aku muak dengan semuanya. Aku murka. 
Tanganku bergetar. Akar-akar pohon mencuat dari dalam tanah. Memanjang dan bergerak menuju warga desa. Melilit leher mereka. Kebencianku mencekik mereka. Kemarahanku menggantung mereka. Mereka tewas. Eric terkejut. Ia menjadi ketakutan setengah mati melihatku. Ia menjauh dariku. Kakinya bergetar. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Kupatahkan dahan tempatku menggantung. Aku jatuh terjerembab. Eric cepat-cepat menjauh.
“Eric cium aku. Kumohon. aku tidak akan membunuhmu. Aku akan memaafkanmu. Eric... aku mencintaimu. Sungguh mencintaimu. Jangan tinggalkan aku.”
Eric semakin ketakutan. Tapi dia mendekat ke arahku. Wajahnya pucat pasi penuh dengan keringat dingin. Aku bisa mendengar jantungnya yang berdegup kencang ketika wajahnya semakin dekat ke wajahku. Sedikit lagi bibirku bersentuhan dengan bibirnya. Perlahan-lahan. Aku sangat menikmati detik-detik sebelum aku berciuman dengannya.
“Aku telah memuntahkan apel beracun itu. Sekarang kau yang menelannya. Bodoh.”
Sebelum bibirnya menyentuh bibirku, aku menikamnya dengan pisaunya sendiri yang ia pegang. Akar-akar disekitarku mencuat kembali. Melilit lehernya. Mata Orchidnya seperti ingin loncat. Badannya mengejang. Dia menangis. Beberapa detik kemudian, tubuhnya tak lagi bergerak. Tubuhnya tidak lagi bernyawa.
Aku berbaring di samping jasad Eric yang tak bernyawa. Aku memohon pada Tuhan. Aku meminta pada-Nya untuk mematikan tanah desa ini. Agar warga desa tidak lagi bisa bercocok tanam karena, tanahnya telah mati. Agar warga desa tidak lagi bisa meminum air dari sumur mereka. Agar mereka tidak lagi bisa hidup di sini. Sebagai gantinya, kurelakan jiwaku dan jiwa hutan ini. bukankah itu yang namanya setimpal?

LA FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.