Sabtu, 01 Maret 2014

Sebuah Cerpen: Sesuatu Hal yang Berdiri Di Pojokan Hati

         By: NNaomi
  Matahari bersinar seperti biasanya. Awan hanya berjalan-jalan di atas langit. Angin berhembus lembut mendinginkan suasana. Membuat nyaman kami yang sedang duduk di depan kelas. Duduk sambil membicarakan apa saja yang terpikirkan. Pembicaraan yang sepele tapi menghidupkan suasana. 
            Tiba-tiba terdengar sebuah lagu disela-sela tawa kami. Lagu yang universal. Lagu yang selalu dinyanyikan berbarengan. Kecuali, untuk orang yang benar-benar terisolasi. Lagu happy birthday. Kami melihat ke arah sebelah, sambil acuh tak acuh dengan perayaan ulang tahun itu.
            Aku tersenyum sambil berpikir, indahnya ulang tahun ke-17. Momen sekali seumur hidup. momen yang tidak diwajibkan dirayakan. Aku menoleh lagi karena lagu itu semakin keras saja. Mata ini tiba-tiba diam memperhatikan. O..orang itu ulang tahun? Laki-laki yang berdiri di depan kue berlilin dan dinyanyikan oleh teman-temannya.
            Tiba-tiba pikiran ini mencari-cari tanggal di dalam ingatan. Aku benar-benar tidak ingat hari ini tanggal berapa. Akhir-akhir ini aku tidak meperhatikan tanggalan. Seolah-olah tidak ada momen yang penting dan tidak ada hari yang spesial yang harus ditunggu.
            “Emangnya sekarang tanggal berapa?”, tanyaku spontan pada teman-teman.
            “1 maret. Kenapa emang?”
            Padahal tidak ada mobil yang ingin menabrakku, tapi jantung ini spontan berdegup kencang.
            Bulan februari tahun ini sepertinya aku amnesia tanggal. Tahun lalu aku menunggu-nunggu satu hari di bulan februari. Tahun ini aku hanya diam saja. Tidak memikirkan angka-angka bisu ditanggalan. Tahun ini aku membiarkan hari ulang tahunnya berlalu begitu saja. Aku merasa bersalah. 4 hari yang lalu, hari ulang tahunnya. 4 hari yang lalu aku sama sekali tidak mengingatnya.
            Aku mulai gugup. Teman-temanku bilang, belum telat ngucapin selamat ulang tahun sekarang. Jelas-jelas sudah telat 4 hari! Tapi dari pada tidak sama sekali. Masalahnya aku tidak mempersiapkan apa-apa. Nyalipun aku tidak ada.  Temanku bilang, berilah yang sederhana jika kamu tida bisa memberinya yang spesial.
            Entah apa yang aku pikirkan, ku tarik temanku menuju kantin. Membuat kue ulang tahun seadanya. Kue ulang tahun jadi-jadian.
            Sekarang aku panas dingin. Untuk apa sebenarnya kue ulang tahun jadi-jadian ini? jika nyali saja belum kugali. Teman-temanku mulai ribut. Aku mulai kebingungan. Terlintas sejenak untuk membagikan kue ulang tahun jadi-jadian itu. Memakannya sama-sama seperti tahun lalu.
            Teman-temanku tidak mau aku memakan kue jadi-jadian itu. Mereka memanggil laki-laki yang tadi berdiri di belakang kue ulang tahun sungguhan dengan lilin sungguhan.
            Rasa apa ini?! rasa ini membuatku benar-benar tidak nyaman. Rasa ini benar-benar membuat mukaku terasa terbakar malu. Rasa ini benar-benar membuat jari-jari bergetar. Rasa ini membuat mulut ingin memuntahkan sesuatu. Memuntahkan tawa, kata, atau bahkan isi perut. Aku menyodorkan kue jadi-jadian dihadapannya. Aku mencoba untuk senyum semanis mungkin tapi malah terkesan dipaksakan. Karena dipaksakan, malah senyum kuda yang keluar.
            Dia tersenyum padaku. Aku tidak berani mendeskripsikan arti senyuman itu. Aku hanya menduga-duga, itu adalah senyum terima kasih yang tulus atau senyum penutup kecewanya karena aku melupakan ulang tahunnya. Kuperdebatkan senyum itu sejenak, sambil menatapnya. Tidak, tidak, laki-laki yang tadi berdiri di belakang kue ulang tahun dengan lilin sungguhan bukan orang yang mempermasalahkan soal senyuman. Jadi untuk apa aku perdebatkan arti senyumnya padaku.
            Teman-temanku menyanyikan lagu universal dan menyuruh laki-laki itu meniup lilin yang ada pada kue ulang tahun jadi-jadian.
            Dia meniup lilin di atas kue jadi-jadian yang kubuat. Tanganku semakin lemas karena kutahan agar tidak bergetar dan menjatuhkan kuenya. Setelah lilin itu padam, aku tersenyum.
            Sedetik setelah laki-laki itu mengatakan terima kasih, aku menyadari sesuatu. Sesuatu hal yang tidak seharusnya kusadari. Sesuatu hal yang mungkin sudah lama berdiri dipojokan hatiku menunggu untuk dilihat.
            Aku mulai menyalahkan diriku sendiri, tentang bagaimana aku bisa lupa tanggal. Karena tak mau menyalahkan diri sendiri, kucari alasannya. Mungkin itu karena aku tidak ingin benar-benar mengingat tanggal yang membuatku menunggu seperti tahun lalu. tahun lalu aku menunggu laki-laki yang tadi meniup lilin jadi-jadian, untuk meniup lilin di kue ulang tahun yang aku bawa. Kue ulang tahun yang pada akhirnya dimakan bersama. Lilin yang pada akhirnya ku nyalakan di atas meja dan ku tiup dengan harapan agar dia lekas sembuh dari penyakitnya.
            Aku mulai menyalahkan diriku sendiri, tetang bagaimana aku berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenali. Menjadi seseorang yang seolah-olah sedang tergila-gila dengan seorang laki-laki.  Menjadi seseorang yang dikuasai rasa aneh dalam hatinya. Padahal ketika aku diam sejenak aku merasa itu bukan diriku. Aku tidak benar-benar merasakan apa yang aku perbuat. Entahlah, aku bingung mendeskripsikannya.
            Ketika kulihat dia berpaling dan menjauh dariku membawa kue ulang tahun jadi-jadian itu. Aku baru melihat hal yang sudah lama berdiri di pojokan hatiku. Hal yang menunggu untuk terlihat. Hal itu adalah kesadaranku bahwa aku sebenarnya tidak benar-benar menyukai atau mencintainya seperti satu tahun lalu. kesadaranku bahwa aku sebenarnya tidak benar-benar peduli dengannya sekarang. Kesadaranku bahwa sekarang aku adalah pengagum dia yang tak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Kesadaranku bahwa sekarang aku benar-benar tidak sanggup mendeskripsikan rasa tentang dirinya yang mulai layu dalam hatiku.

LA FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.