By: NNaomi
Matahari bersinar seperti biasanya.
Awan hanya berjalan-jalan di atas langit. Angin berhembus lembut mendinginkan
suasana. Membuat nyaman kami yang sedang duduk di depan kelas. Duduk sambil
membicarakan apa saja yang terpikirkan. Pembicaraan yang sepele tapi
menghidupkan suasana.
Tiba-tiba terdengar sebuah lagu
disela-sela tawa kami. Lagu yang universal. Lagu yang selalu dinyanyikan
berbarengan. Kecuali, untuk orang yang benar-benar terisolasi. Lagu happy
birthday. Kami melihat ke arah sebelah, sambil acuh tak acuh dengan perayaan
ulang tahun itu.
Aku tersenyum sambil berpikir,
indahnya ulang tahun ke-17. Momen sekali seumur hidup. momen yang tidak
diwajibkan dirayakan. Aku menoleh lagi karena lagu itu semakin keras saja. Mata
ini tiba-tiba diam memperhatikan. O..orang itu ulang tahun? Laki-laki yang
berdiri di depan kue berlilin dan dinyanyikan oleh teman-temannya.
Tiba-tiba pikiran ini mencari-cari
tanggal di dalam ingatan. Aku benar-benar tidak ingat hari ini tanggal berapa.
Akhir-akhir ini aku tidak meperhatikan tanggalan. Seolah-olah tidak ada momen
yang penting dan tidak ada hari yang spesial yang harus ditunggu.
“Emangnya sekarang tanggal berapa?”,
tanyaku spontan pada teman-teman.
“1 maret. Kenapa emang?”
Padahal tidak ada mobil yang ingin menabrakku,
tapi jantung ini spontan berdegup kencang.
Bulan februari tahun ini sepertinya
aku amnesia tanggal. Tahun lalu aku menunggu-nunggu satu hari di bulan
februari. Tahun ini aku hanya diam saja. Tidak memikirkan angka-angka bisu
ditanggalan. Tahun ini aku membiarkan hari ulang tahunnya berlalu begitu saja.
Aku merasa bersalah. 4 hari yang lalu, hari ulang tahunnya. 4 hari yang lalu
aku sama sekali tidak mengingatnya.
Aku mulai gugup. Teman-temanku
bilang, belum telat ngucapin selamat ulang tahun sekarang. Jelas-jelas sudah
telat 4 hari! Tapi dari pada tidak sama sekali. Masalahnya aku tidak
mempersiapkan apa-apa. Nyalipun aku tidak ada.
Temanku bilang, berilah yang sederhana jika kamu tida bisa memberinya
yang spesial.
Entah apa yang aku pikirkan, ku
tarik temanku menuju kantin. Membuat kue ulang tahun seadanya. Kue ulang tahun
jadi-jadian.
Sekarang aku panas dingin. Untuk apa
sebenarnya kue ulang tahun jadi-jadian ini? jika nyali saja belum kugali.
Teman-temanku mulai ribut. Aku mulai kebingungan. Terlintas sejenak untuk
membagikan kue ulang tahun jadi-jadian itu. Memakannya sama-sama seperti tahun
lalu.
Teman-temanku tidak mau aku memakan
kue jadi-jadian itu. Mereka memanggil laki-laki yang tadi berdiri di belakang
kue ulang tahun sungguhan dengan lilin sungguhan.
Rasa apa ini?! rasa ini membuatku
benar-benar tidak nyaman. Rasa ini benar-benar membuat mukaku terasa terbakar
malu. Rasa ini benar-benar membuat jari-jari bergetar. Rasa ini membuat mulut
ingin memuntahkan sesuatu. Memuntahkan tawa, kata, atau bahkan isi perut. Aku
menyodorkan kue jadi-jadian dihadapannya. Aku mencoba untuk senyum semanis
mungkin tapi malah terkesan dipaksakan. Karena dipaksakan, malah senyum kuda
yang keluar.
Dia tersenyum padaku. Aku tidak
berani mendeskripsikan arti senyuman itu. Aku hanya menduga-duga, itu adalah
senyum terima kasih yang tulus atau senyum penutup kecewanya karena aku
melupakan ulang tahunnya. Kuperdebatkan senyum itu sejenak, sambil menatapnya.
Tidak, tidak, laki-laki yang tadi berdiri di belakang kue ulang tahun dengan
lilin sungguhan bukan orang yang mempermasalahkan soal senyuman. Jadi untuk apa
aku perdebatkan arti senyumnya padaku.
Teman-temanku menyanyikan lagu
universal dan menyuruh laki-laki itu meniup lilin yang ada pada kue ulang tahun
jadi-jadian.
Dia meniup lilin di atas kue
jadi-jadian yang kubuat. Tanganku semakin lemas karena kutahan agar tidak
bergetar dan menjatuhkan kuenya. Setelah lilin itu padam, aku tersenyum.
Sedetik setelah laki-laki itu
mengatakan terima kasih, aku menyadari sesuatu. Sesuatu hal yang tidak
seharusnya kusadari. Sesuatu hal yang mungkin sudah lama berdiri dipojokan
hatiku menunggu untuk dilihat.
Aku mulai menyalahkan diriku
sendiri, tentang bagaimana aku bisa lupa tanggal. Karena tak mau menyalahkan
diri sendiri, kucari alasannya. Mungkin itu karena aku tidak ingin benar-benar
mengingat tanggal yang membuatku menunggu seperti tahun lalu. tahun lalu aku
menunggu laki-laki yang tadi meniup lilin jadi-jadian, untuk meniup lilin di
kue ulang tahun yang aku bawa. Kue ulang tahun yang pada akhirnya dimakan
bersama. Lilin yang pada akhirnya ku nyalakan di atas meja dan ku tiup dengan
harapan agar dia lekas sembuh dari penyakitnya.
Aku mulai menyalahkan diriku
sendiri, tetang bagaimana aku berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenali.
Menjadi seseorang yang seolah-olah sedang tergila-gila dengan seorang
laki-laki. Menjadi seseorang yang
dikuasai rasa aneh dalam hatinya. Padahal ketika aku diam sejenak aku merasa itu
bukan diriku. Aku tidak benar-benar merasakan apa yang aku perbuat. Entahlah,
aku bingung mendeskripsikannya.
Ketika kulihat dia berpaling dan
menjauh dariku membawa kue ulang tahun jadi-jadian itu. Aku baru melihat hal
yang sudah lama berdiri di pojokan hatiku. Hal yang menunggu untuk terlihat.
Hal itu adalah kesadaranku bahwa aku sebenarnya tidak benar-benar menyukai atau
mencintainya seperti satu tahun lalu. kesadaranku bahwa aku sebenarnya tidak
benar-benar peduli dengannya sekarang. Kesadaranku bahwa sekarang aku adalah
pengagum dia yang tak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Kesadaranku bahwa
sekarang aku benar-benar tidak sanggup mendeskripsikan rasa tentang dirinya
yang mulai layu dalam hatiku.
LA FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai penulis dengan meninggalkan jejak berupa kritik atau saran.